Ten Bulls #2 512px

Minggu Ke 2: Kebijaksanaan dan Welas Asih

Alex Trisoglio, 14 Juni 2017

Diterjemahkan oleh Medya Silvita Lie


English / Bahasa Indonesia / Deutsch / Español / Français / Português / Русский / Türkçe / 繁體字 / 简体字


DJKR 512px

Ikhtisar Minggu 2

Selamat malam semua dan selamat datang di Minggu 2. Sebagian besar dari apa yang akan kita lakukan hari ini adalah fokus pada lima bhumi pertama, dan bersiap untuk petualangan yang akan kita jalani di minggu depan dengan Bab 6. Fokus minggu ini adalah untuk memahami hubungan antara pandangan dan bodhicitta atau welas asih, dan utamanya paramita – kualitas-kualitas seperti kemurahan hati, kesabaran dan disiplin yang ingin kita praktikkan dan kembangkan di jalan.

Perjalanan Sang Pahlawan

Saya ingin memulai dengan mengatur konteksnya, hampir membingkai ulang ajaran ini sebagai cerita petualangan, yang mungkin tampak sedikit aneh. Tapi jika Anda melihat 10 Banteng, 10 Ox-Herding Pictures yang mulai kita bicarakan minggu lalu, terbukanya ke-sepuluh tahap tersebut benar-benar mengikuti struktur mitos yang sama dengan Joseph Campbell’s Hero’s Journey. Sebenarnya, begitulah kisah hidup Buddha, cerita yang klasik. Dan bagi Anda yang menyukai film, contoh paling klasik mungkin film Star Wars yang asli, di mana George Lucas benar-benar berkonsultasi dengan Campbell untuk menyusun film ini di seputar Hero’s Journey (Perjalanan Sang Pahlawan) dengan fase yang berbeda.

Hero’s Journey mengikuti struktur tiga-aksi klasik seperti drama Yunani kuno.

  • Aksi I: adalah eksposisi atau situasi, dunia biasa dimana kita memulai. Dan kemudian sesuatu terjadi. Ada semacam masalah yang harus dipecahkan, semacam ajakan untuk bertindak. Bagi kita, hal itu seperti akan memulai kehidupan samsara biasa dan kemudian menemukan jalan Dharma, menemukan kemungkinan untuk memahami nondualitas dan kekosongan, dan mencapai pencerahan.
  • Aksi II: Dan kemudian pada suatu saat Hero atau Heroine (tokoh pahlawan – pria / wanita) memutuskan untuk memulai jalan ini, yang membawa kita ke Aksi II, yang ada di seputar upaya untuk memecahkan masalah yang diatur dalam Aksi I. Sebagian besar waktu pada masa ini terjadinya di dunia yang aneh dan asing. Ini bukan dunia biasa. Ini semacam dunia mitis.
  • Aksi III: Akhirnya dalam Aksi III kita memiliki resolusi, dimana Hero atau Heroine kembali ke dunia biasa dengan membawa semacam hadiah atau obat mujarab atau kekuatan baru, sesuatu yang akan bermanfaat bagi dunia.

Qingyuan Weixin

Memulai petualangan  [t = 0:02:52]

Ini sangat mirip dengan pergembangan dari (cerita-med) 10 Banteng, jika Anda mengikuti serangkaian gambar dan puisi itu. Dan itu juga terkait dengan kisah Zen klasik Gunung / Tanpa Gunung / Gunung, yang menjadi ungkapan yang terkenal dari ➜Ch’ing-yüan Wei-hsin (青原惟信, Jepang: Seigen Ishin), yang adalah master Chan abad ke-9 Dinasti Tang. Dia berkata:

Sebelumnya saya telah belajar Zen selama tiga puluh tahun, saya melihat gunung-gunung sebagai gunung, dan air sebagai air. Ketika saya sampai pada pengetahuan yang lebih mendalam, saya sampai pada titik di mana saya melihat bahwa gunung-gunung bukanlah gunung, dan air bukanlah air. Tapi sekarang saya telah mendapatkan substansi nya, saya berdiam. Sekali lagi saya melihat gunung sebagai gunung, dan air sebagai air.

Jadi gagasan semacam perjalanan berputar ini, di mana kita mulai melihat dunia dengan cara tertentu, kita melanjutkan perjalanan, dan kemudian kita kembali ke dunia asli kita tapi sekarang kita melihatnya dengan cara yang baru. Itulah yang akan kita lakukan di sini. Pemahaman seperti ini adalah inti dari Dua Kebenaran, dan ajaran seperti Sutra Hati “bentuk adalah kekosongan, kekosongan adalah bentuk” walaupun kita tidak akan benar-benar mengenalinya hingga Minggu 5 dan 6. Saya hanya ingin mempersiapkan kita.

Dan kembali ke tempat kita berada sekarang: kita masih dalam Aksi I, dan kita benar-benar berada di Adegan 2.

  • Aksi I, Adegan 1: adalah ajakan untuk berpetualang, yang kita lihat di minggu 1. Menyadari bahwa pandangan itu penting, dan bermanfaat bagi kita untuk menumbuhkan pandangan.
  • Aksi I, Adegan 2: sekarang Hero benar-benar mulai mempertanyakan apakah ia ingin melakukan perjalanan ini. Bisa jadi pertanyaannya apakah ia punya tugas lain, kewajiban lainnya. Mungkin ia terlalu sibuk, tidak punya cukup waktu. Bisa jadi ia menganggapnya terlalu menantang, terlalu sulit, terlalu akademis, tidak berhubungan dengan masalah kesehariannya. Atau mungkin ia merasa sudah memiliki semacam jalan. Mungkin kita sudah merasa kita mempraktikkan mindfulness (kesadaran-med) atau bodhicitta atau latihan apa pun yang mungkin kita miliki. Mungkin kita merasa kita tidak perlu mengambil pandangan tentang kekosongan ini, karena kita sudah memiliki apa yang kita butuhkan. Dan bagi Anda yang mengikuti Forum diskusi, ada pembicaraan menarik tentang penggunaan emosi atau emosi sebagai jalan, yang menurut saya mungkin terkait dengan hal ini.

Meski begitu, kita tetap mendengar ajakan untuk bertualang. Apakah kita ingin memulai Jalan Tengah? Apakah kita ingin membawa latihan kita ke tingkat berikutnya? Itu adalah sesuatu yang bisa kita renungkan. Apakah kita siap untuk melakukan itu? Dan mungkin kita mungkin melihat ada hambatan internal. Kita mungkin menganggap ini sedikit menantang atau sulit, atau berpikir kita tidak ingin melakukannya. Tapi itu kembali ke struktur asli Campbell. Itu adalah bagian alami dari perjalanan si pahlawan (Hero atau Heroine’s Journey), dan pada titik tertentu kita harus menghadapi dan mengatasi hambatan itu, sehingga kita dapat benar-benar tiba pada sang jalan. Dalam kasus ini, kita akan mulai di minggu ke 3 yang akan sangat banyak menyelam ke dalam pandangan, menyelam ke dalam analisis, menyelam ke dunia lain yang aneh dimana kita tidak lagi melihat gunung itu sebagai gunung, tapi malah mulai untuk mengurainya dan membelahnya. Kita akan melakukan banyak hal mulai minggu depan.

Ten Bulls #2 512px

Bagaimana saya bisa melihat yang benar dari yang tidak-benar?  [t = 0:06:38]

Jadi seperti yang saya lakukan minggu lalu, saya ingin membaca syair yang relevan dari 10 Banteng. Ini adalah banteng kedua:

2. Menemukan Jejak Kaki

Di sepanjang tepian sungai di bawah pepohonan, saya menemukan jejak kaki!
Bahkan di balik rumput harum aku melihat sidik jarinya.
Jauh di pegunungan terpencil mereka ditemukan.
Jejak ini tidak bisa disembunyikan dari hidung seseorang, melihat ke surga.

Komentar: Memahami ajaran, saya melihat jejak kaki banteng. Lalu saya belajar bahwa, seperti banyak peralatan yang dapat dibuat dari satu logam, demikian juga segudang entitas yang terbuat dari kain diri. Kecuali saya membedakan, bagaimana saya bisa merasakan yang benar dari yang tidak benar? Belum masuk ke gerbang, namun saya sudah bisa melihat jalannya.

Saya pikir ungkapan itu, gagasan tentang “bagaimana saya bisa melihat yang benar dari yang tidak benar?”, adalah pertanyaan yang sangat berharga bagi kita, terutama jika menyangkut praktik kita. Dan itu benar-benar sesuai dengan apa yang akan kita bicarakan hari ini. Bagaimana seharusnya kita berlatih? Panduan apa yang kita miliki? Bagaimana pandangan membentuk praktik kita? Kita akan kembali ke sini pada Minggu 7 dan 8, tapi ini adalah sebuah rencana yang diharapkan akan membangun pemahaman ini bagi kita untuk mengatakan bahwa adalah penting bagi kita untuk memahami dan membangun pandangan sehingga kita kemudian dapat berlatih.

Varanasi 512px

Menyeberangi sungai  [t = 0:08:12]

Saya ingin kembali ke gagasan tentang bagaimana pandangan membentuk tindakan. Minggu lalu kita berbicara tentang analogi Buddha tentang jalan yang diibaratkan seperti rakit, yang seharusnya dilintasi dan tidak dipegang. Tentu saja jika kita menyeberangi sungai dengan rakit kita, kita tidak ingin membawa rakit di punggung kita begitu kita telah menyeberang ke sisi lain. Kita meninggalkannya di tepi sungai. Kita tidak membawanya bersama kita. Jadi mari kita bayangkan ajaran Buddha di Deer Park (taman rusa -med) di Sarnath. Bayangkan beliau ingin mengunjungi sungai. Sekarang seperti yang Anda ketahui, Sarnath hanya beberapa mil jauhnya dari Varanasi, yang sekarang berada di tepi sungai suci India, Sungai Gangga atau Ibu Gangga sebagaimana ia dikenal. Sebenarnya Varanasi adalah kota tertua yang terus-menerus dihuni di seantero Asia, salah satu kota paling ➜kota tertua di dunia. Ini telah terus dihuni sejak 1800 SM, dan tumbuh sebagai pusat industri penting, terkenal dengan kain sutra, parfum, gading dan patung. Selama masa Buddha, Varanasi adalah ibu kota kerajaan Kashi, membentang di sepanjang tepi barat Sungai Gangga.

Dan jika Anda mengunjungi Varanasi hari ini, itu hampir sama. Kota suci sangat banyak berada di tepi barat dan jika Anda melihat ke seberang sungai di tepi timur, benar-benar tidak ada banyak yang ada sekarang kecuali pasir berdataran banjir dimana beberapa ➜aghori sadhus tinggal. Tapi bagaimanapun, mari bayangkan Anda ingin menyeberangi sungai, mungkin untuk menemui beberapa dari para sadhus ini. Jadi Anda pergi ke salah satu ghat, Anda bisa melihat sejauh mungkin sejauh empat ratus meter jauhnya dari Anda, dan Anda akan menemui tukang perahu untuk menyebrangkan Anda dengan rakitnya. Dan Anda masih bisa melakukan hal ini hingga hari ini. Di Varanasi, banyak kapal kecil yang di kendalikan oleh manusia daripada mesin diesel. Ada banyak tukang perahu disana. Jadi Anda masuk ke dalam perahu dan Anda melaju, dan dalam waktu singkat Anda akan menyadari bahwa arus Sungai Gangga di Varanasi sangat kuat, dan segera Anda akan mulai ditarik ke hilir.

Dan tentu saja jika Anda tetap melanjutkan mengikuti garis lurus melintasi sungai, Anda akan berakhir menjauhi tempat tujuan, karena Anda akan ditarik beberapa meter menjauh dari pantai lain. Sekarang tentu saja tukang perahu tahu akan hal ini. Mereka telah melakukan ini sebelumnya, sehingga mereka bisa memperbaiki arus. Mereka mengarahkan perahunya menghadap ke hulu, dan mereka mendayung keras melawan arus dan dengan gerakan aneh seperti kepiting ini mereka benar-benar akhirnya menyeberangi sungai dan mencapai tujuan dengan sempurna. Jadi, Anda bisa mengatakan, di tengah dari rintangan jalan mereka – dalam hal ini arus sungai yang kuat – mereka tetap dapat mencapai tujuan mereka karena mereka memiliki pandangan yang jelas. Sekarang dalam kasus ini, ini benar-benar pandangan yang jelas, karena mereka bisa melihat ke sisi yang lain. Saya harap Anda bisa melihat analogi ini dalam latihan kita.

Varanasi boatman

Memilih tukang perahu  [t = 0:11:40]

Ada pelajaran lain dari ini, yaitu: mari kita bayangkan kita ingin ke sisi lain, bagaimana kita memilih tukang perahu nya? Apakah kita akan fokus pada penampilannya? Atau mungkin bagaimana indahnya hiasan kapalnya? Ini adalah yang terlihat, hal yang nyata. Tapi setelah kita mulai menyadari yang sebenarnya, tidak, hal yang benar-benar kita butuhkan oleh tukang perahu kita adalah kemampuan untuk memiliki kejelasan pandangan, untuk mengetahui bagaimana menavigasi arus. Karena kecuali jika dia dapat melakukan itu, kita tidak akan berhasil mencapai tujuan kita, betapapun menariknya kapal itu. Dan ketika Dzongsar Khyentse Rinpoche mengajar Madhyamaka di Perancis pada tahun 1996, beliau membuka ajarannya dengan cara yang sama, dan ini sangat relevan bagi kita. Beliau mengatakan (lihat halaman 1 dalam transkrip):

“Sekarang setelah periode pengenalan Buddhisme di Barat hampir berakhir, kita perlu menetapkan studi dan praktik Buddhisme yang tepat. Sampai sekarang, kita cenderung menekankan pada metode, hal-hal seperti meditasi dan guru, namun kita cenderung untuk melupakan pandangan. Studi Madhyamaka itu penting karena analisis dan metodenya sangat luas dan intensif untuk membangun pandangan. Memiliki pandangan yang benar adalah seperti mengetahui arah ke Paris. Misalkan Anda bepergian ke Paris dengan pemandu yang mengatakan bahwa dia tahu jalannya, dan kemudian tiba-tiba pemandu Anda mengeluarkan sebuah buku panduan dan mulai bertingkah sedikit aneh. Jika Anda tahu arah ke Paris, maka apakah pemandu tersebut menuntun Anda sepanjang jalan raya atau melalui semak tidaklah menjadi masalah. Selama dia menuju ke arah yang benar, bahkan tidak masalah jika dia bertindak dengan gugup, karena Anda tahu dan percaya arahnya.

Saat ini, nampaknya orang tidak terlalu peduli dengan arahnya, sebagai gantinya mobilnya itulah yang menginspirasi mereka – kendaraan Vajrayana, kendaraan Mahayana dan sebagainya. Lebih buruk dari itu, mereka menemukan inspirasi dalam diri pemandu ini. Dengan pendekatan ini, kecuali jika Anda memiliki begitu banyak kebajikan sehingga Anda tidak sengaja menemukan kesuksesan, adalah cukup sulit untuk mendapatkan hasilnya. Kita mendengar ajaran-ajaran seperti “beristirahat dalam sifat alamiah batin”, yang sangat memabukkan dan menyenangkan untuk didengar, namun kita tidak memiliki pemahaman dasar tentang pandangan tersebut.”

Sekali lagi saya pikir ini adalah titik refleksi yang berguna bagi kita karena kita menganggap hubungan kita sendiri dengan jalan, dengan ajaran-ajaran, dengan guru kita. Apakah kita benar-benar fokus pada pandangan? Apakah kita fokus untuk mengetahui arahnya? Atau apakah kita jadi mungkin sedikit terlalu terjebak dalam kendaraan itu sendiri, ke jalan atau bahkan ke guru kita. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang penting.

Fork in the road - Robb Siverson

Membedakan jalan yang benar dan salah  [t = 0:14:27]

Ada satu hal yang untuk berada di Varanasi dan untuk menyeberangi sungai melihat ke sisi sungai yang lain, tapi bagaimana jika Anda berada di sebuah kapal yang mencoba menyeberangi lautan yang terbuka? Anda tidak bisa melihat pantai lain. Anda tidak tahu kemana tujuan Anda. Dan tanpa semacam navigasi, tanpa semacam panduan atau kompas atau cara mengetahui dimana Anda saat ini dan ke mana Anda hendak pergi, Anda akan tersesat. Dan saya pikir itu mungkin analogi yang lebih sesuai bagi kebanyakan kita yang ingin menerapkan ajaran dalam kehidupan kita sehari-hari di dunia ini. Pertanyaan sebenarnya bagi banyak dari kita adalah: bagaimana saya harus bertindak? Adalah sangat baik untuk mengatakan bahwa saya memiliki pandangan, tapi bagaimana saya bisa menerapkannya dalam latihan saya dan dalam kehidupan sehari-hari saya? Dan sebenarnya pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa memahami dan menerapkan pandangan Jalan Tengah untuk membantu kita menjawab pertanyaan tentang bagaimana seharusnya kita bertindak.

Dan ini adalah sebuah paradoks, karena memang ada perbedaan antara gagasan ini bahwa Buddha tidak mengajarkan pandangan, dan kita akan melihat ini semakin banyak saat kita melanjutkan melalui teks – Nagarjuna dan Chandrakirti keduanya mengatakan bahwa inti dari pandangan adalah bahwa tidak adanya pandangan. Namun keseluruhan gagasan tentang Delapan Jalan Mulia adalah bahwa kita membedakan jalan yang benar dari jalan yang salah. Bahwa semua ini ada untuk memastikan bahwa kita mengetahui perbedaan antara baik dan buruk, dan antara benar dan salah. Jika Anda melihat lima bab pertama dan lima bhumi, ada banyak diskusi tentang perbedaan antara yang baik dan yang buruk. Jadi kita tampaknya memiliki sebuah paradoks di mana pada satu tingkat kita sangat harus membedakan antara yang baik dan yang buruk, benar dan salah, apa yang sebetulnya adalah Jalan Mulia. Dan kemudian di tingkat lain, kita tidak memiliki pandangan. Jadi bagaimana kita bisa memahami keduanya? Rinpoche telah mengajarkan tentang hal ini, terutama dalam konteks ajaran kontemporer kesadaran di mana, seperti yang mungkin Anda ketahui, ada banyak penekanan pada gagasan bahwa perhatian harus tidak menghakimi. Namun, jika Anda melihat ajaran Buddhis, ada unsur penghakiman dan diskriminasi yang penting. Kita perlu membedakan benar dan salah. Kita tidak bisa hanya mengangkat tangan kita dan mengatakan semuanya berjalan. Jadi lagi, bagaimana caranya untuk bertindak ?

Young buddhist monk jumping

Peraturan Wihara  [t = 0:16:59]

Jika Anda kembali ke jalur Shravakayana yang asli, itu utamanya adalah jalur monastik, jadi tindakan sangat banyak dalam konteks kehidupan monastik di sebuah wihara. Dan yang terkenal ada sumpah Pratimoksha, di mana secara harfiah kata prati berarti ‘menuju’ dan moksha berarti ‘pembebasan’, maka anggapannya adalah bahwa semua janji ini menata perilaku yang akan membawa Anda pada pembebasan. Semua itu terdengar sangat bagus, tapi saya tidak tahu apakah Anda pernah melihat janji ➜227. Saya melihatnya sedikit, dan inilah beberapa dari 227 – dan omong-omong, hal ini jelas tentang kehidupan di sebuah wihara, mungkin berhubungan dengan anak laki-laki, mencoba untuk mengajarkan semacam disiplin kepada mereka. Beberapa aturan yang diungkapkan dalam janji meliputi:

“Anda harus makan rasio satu bagian dari kari dengan tiga bagian dari nasi.”

“Anda seharusnya tidak menyembunyikan kari di bawah nasi untuk mendapatkan lebih banyak.”

“Anda seharusnya tidak menyeruputnya saat Anda sedang minum cairan.”

Ini jelas sangat spesifik dan sangat relevan untuk kehidupan monastik, tapi seseorang mungkin bertanya seberapa banyak yang dapat saya gunakan sebagai panduan umum untuk menjalani kehidupan di dunia? Nah, ada beberapa janji Pratimoksha yang berlaku untuk kehidupan di dunia. Misalnya, ada satu set janji-janji mengenai karpet:

“Tidak menerima karpet mengandung sutra.”

“Tidak menerima karpet lantai yang terbuat dari wol domba hitam.”

“Tidak menerima karpet lantai yang, lebih dari setengahnya, dibuat dari wol domba hitam dan seperempatnya dari wol putih.”

“Tidak membeli karpet lantai lain selama yang sebelumnya belum berumur enam tahun.”

Sekali lagi ini sangat spesifik, dan saya kira jika Anda berada di bisnis karpet, itu mungkin relevan, tapi bagi kebanyakan dari kita, kita mendengarkan hal-hal ini dan sangat sulit untuk menerapkannya pada kehidupan kita di dunia kontemporer. Dan hampir semuanya, jika Anda melihat melalui janji 227, adalah tentang apa yang tidak boleh Anda lakukan. Ada sedikit tentang apa yang didorong, apa yang harus Anda kembangkan, apa yang seharusnya Anda cita-citakan sebagai kehidupan yang baik di dunia. Dan seperti yang Rinpoche katakan, bagi sebagian besar dari kita gagasan untuk tinggal di sebuah wihara dan berlatih 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, itu tidak cocok dilakukan. Itu tidak mungkin. Kita memiliki hidup. Kita punya keluarga. Kita tidak memiliki sumber finansial yang cukup untuk mengabdikan diri pada hal itu.

Mindfulness and money-making (Tricycle) 512px

Dharma Praktis ?  [t = 0:19:55]

Dan bahkan, karena sekarang banyak ajaran Buddha modern yang bertanya, jika semua yang kita lakukan adalah duduk dan bermeditasi, dan kita tidak terlibat dalam masalah dunia seperti sosial dan ekonomi dan lingkungan, apakah kita benar-benar mengatakan bahwa Buddhisme itu relevan? Dengan cara apa kita terhubung dengan dunia? Oleh karena itu, Anda melihat munculnya apa yang disebut Buddhisme ‘terlibat’, yang benar-benar mengatakan bahwa kita perlu lebih terlibat. Yang mana jika Anda melihat asal-usul Mahayana yang tumbuh dari tradisi monastik, banyak dari hal tersebut adalah karena kebutuhan untuk menawarkan sesuatu kepada para pe-rumah tangga, yang tidak berada di vihara. Sampai saat itu, sungguh satu-satunya jalan bagi seorang perumah tangga adalah untuk memberi sumbangan ke wihara, mungkin untuk membuat beberapa aspirasi bahwa di masa depan kelahiran kembali Anda mungkin dilahirkan sebagai biarawan, dan kemudian Anda bisa berlatih. Ada sedikit yang bisa Anda lakukan. Dan memang seperti yang dikatakan Rinpoche, mungkin keterputusan dari dunia sehari-hari ini adalah alasan besar mengapa Buddhisme akhirnya lenyap di India dan digantikan oleh Hinduisme. Itu tidak terlihat cukup praktis. Mungkin populisme asli adalah tentang memberi seseorang sesuatu yang mereka inginkan, tapi seperti yang dikatakan Rinpoche, Anda tidak bisa hanya memberi orang apa yang mereka inginkan. Anda harus memberi mereka keduanya, apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka butuhkan.

Kita membutuhkan Dharma untuk menjadi sesuatu yang membantu mengubah kita, membantu kita dalam jalan menuju pencerahan dan memang yang membantu kita untuk membantu orang lain dalam jalan itu, tapi itu tetaplah harus agak praktis. Seperti yang kita singgung pada minggu lalu, saya pikir adalah mungkin merupakan tantangan yang baik bagi kita semua saat kita memikirkan pendekatan kita terhadap Dharma – bagaimana kita berusaha untuk menggunakannya, menerapkannya, mempraktikkannya – apakah kita mungkin menjadi terlalu praktis?

Untuk melihat kembali kesadaran kontemporer, begitu banyak saat ini telah menjadi bagaimana kita menerapkannya dalam lingkungan perusahaan? Apa kasus bisnisnya? Bagaimana kesadaran bisa membuat orang lebih sukses, lebih bahagia, lebih produktif? Dan bukan karena Buddhisme melawan hal-hal ini, tapi pada titik tertentu kita benar-benar kehilangan maksud dari sang jalan. Kita benar-benar hanya berusaha membuat samsara kita menjadi lebih baik daripada mencoba memahami bagaimana mencabut akar dari samsara. Dan seperti yang Anda ketahui, Rinpoche sangat prihatin dengan penerapan ajaran Buddhis dan teknik yang salah ini, dan itulah salah satu alasan mengapa dia memberi judul bukunya Not For Happiness (= Tidak untuk Kebahagiaan). Adalah sangat mudah untuk mengatakan ya tentu saja jika kita mempraktekkan Dharma kita akan, sebagai efek sampingnya, kemungkinan besar kita akan mengembangkan pandangan yang lebih bahagia atas kehidupan kita. Tapi itu bukanlah tujuannya. Kita seharusnya tidak mendekati Dharma sebagai sarana untuk membuat samsara lebih baik. Lalu kita benar-benar kehilangan maksudnya.

Dan saya kira Anda hampir bisa memaafkan orang-orang dalam gerakan kesadaran kontemporer, karena ketika Anda melihat janji 227, Anda mungkin bisa dengan mudah mengatakan, “Tidak banyak bimbingan di sana tentang bagaimana kita harus bertindak.” Dan kemudian ketika Anda melihat ajaran-ajaran tentang pandangan, Anda mendengar bahwa tidak ada pandangan, dan bagi seseorang yang tidak mengenal ajaran ini, adalah sangat mudah untuk berasumsi, “Saya kira mereka tidak memiliki banyak hal untuk diceritakan kepada kita.” Jadi Anda bisa mengerti mengapa orang mungkin berakhir dengan jalan yang hanya memiliki perhatian penuh, bercerai dari segala jenis etika atau cara hidup yang benar, dan juga bercerai dari segala jenis pandangan.


MEMASUKI JALAN TENGAH

halaman 5

Madhyamaka mana yang diperkenalkan?  [t = 0:24:00]

Itu kemudian membawa kita ke awal teks Chandrakirti, Madhyamakavatara. Dia akan memperkenalkan Madhyamaka – itulah judul teksnya, Memasuki Jalan Tengah atau Pengantar ke Jalan Tengah, dan tepat sejak awal dia mengatakan bahwa ada dua jenis Madhyamaka : yang mana yang akan kita perkenalkan? Dan dia menekankan bahwa teks ini adalah tentang mengenalkan ‘kitab suci Madhyamaka’ bukan ‘Madhyamaka mutlak’. Naskah suci Madhyamaka adalah pemahaman intelektual, apa yang kita bicarakan minggu lalu saat mengembangkan Teori Pendukung. Tapi itu tidak sama dengan apa yang kemudian Anda sadari setelah Anda berlatih berdasarkan Teori Pendukung ini. Itulah realisasi nondualitas, yang adalah ‘Madhyamaka mutlak’. Itu bukanlah sesuatu yang bisa kita perkenalkan di sini, dan seperti yang telah dikatakan Rinpoche berkali-kali, mendengarkan dan mempelajari ajaran dapat membawa kita sampai pada titik tertentu, dan kemudian kita harus melatihnya. Seperti yang kita katakan minggu lalu, mungkin 98% dari jalan adalah praktik. Dan ajaran-ajaran selalu ada dalam ranah konsep, kata, bahasa, rasionalitas – dan kita mencoba mencapai tempat yang berada di luar dunia dualistik ini, melampaui rasionalitas ini.

halaman 6

Bagaimana itu diperkenalkan?  [t = 0:25:29]

Jadi kemudian Chandrakirti mengatakan, jika kita akan melihat pada naskah suci, apa yang akan kita lihat? Apakah kita melihat pada sutra atau apakah kita melihat pada shastras, pada komentarnya? Dan di sini Chandrakirti mengatakan bahwa kita akan melihat shastras, terutama komentar Nagarjuna yang terkenal tentang Mulamadhyamakakarika. Bagian dari tantangan bagi kita dalam membaca teks ini dalam dunia yang kontemporer adalah bahwa sekarang banyak Buddhisme barat, terutama dalam tradisi Theravada, yang sangat terfokus pada otentifikasi ajaran berdasarkan pada apa yang terdapat dalam sutta Pali. Beberapa dari Anda mungkin telah membaca pra-membaca dari Jay Garfield – Buddhisme di Barat, dan saya pikir terdapat pertanyaan yang sangat penting: apa yang kita anggap sebagai ajaran Buddha? Apa itu ajaran yang otentik? Apakah hanya kata-kata yang dicatat pada masa awal? Ingat juga bahwa itupun bahkan ada setelah 4 abad setelah Buddha mengajar. Atau haruskah kita juga menyertakan orang-orang yang mengikuti garis keturunannya, dan kemudian menulis komentar-komentar selanjutnya yang diilhami oleh dan yang mengikuti ajaranNya?

Karena misalnya saat Nagarjuna menulis dan mengenalkan Madhyamaka, dia menulis komentarnya berdasarkan sutra. Kita akan melihatnya sebentar lagi. Tapi ketika dia menulis sekitar akhir abad kedua Masehi – kira-kira sekitar enam atau tujuh abad setelah Buddha – pada tahap itu sudah banyak terjadi salah tafsir dan kesalahpahaman tentang ajaran aslinya. Ada banyak kesalahan membaca. Jadi, terdapat alasan besar mengapa dia menulis teks Madhyamaka yang pertama adalah untuk memperbaiki kesalahpahaman ini dan memastikan interpretasi otentik dari apa yang Buddha coba katakan. Jadi Anda bisa mengatakan bahwa terdapat banyak dari apa yang Nagarjuna katakan bukanlah ajaran asli dari Buddha. Tapi ajaran Buddha sendiri jelas terbuka untuk lebih dari satu interpretasi, dan beberapa orang menafsirkan ajaran tersebut dengan cara yang menurut Nagarjuna adalah tidak betul.

Vatican

Sebuah tradisi yang hidup  [t = 0:27:46]

Perspektif saya mengenai hal ini adalah kita tidak dapat hanya mengandalkan kata-kata Buddha, karena mereka tidak memperhitungkan semua kebingungan yang diperkenalkan oleh para komentator berikutnya, yang kemudian perlu dihapus atau diklarifikasi. Jika kita adalah fundamentalis tentang Buddhisme kita, kita akan memiliki ajaran yang tidak dapat menyesuaikan dan menanggapi interpretasi kontemporer dan kesalahpahaman kontemporer, dan kebutuhan dari dunia modern. Dan inilah esensi dari tradisi yang hidup. Pada catatan itu, hingga Paus Fransiskus mengubah bahasa resmi Vatikan pada tahun 2014, ketika dia membuat bahasa resmi bahasa Italia, untuk keseluruhan sejarah Gereja Katolik, bahasanya selalu bahasa Latin. Jadi selain untuk memastikan Katolik adalah tradisi yang hidup, juga karena mereka berbicara bahasa Latin pada pertemuan sinode, mereka harus menemukan kata-kata Latin untuk telepon seluler dan televisi dan komputer dan hal-hal seperti itu. Omong-omong jika Anda tertarik, kata Latin untuk ‘komputer’ adalah computatrum. Tentu saja itu bukanlah bahasa Latin asli, tapi itu contoh di mana mereka harus mengenalkan sesuatu agar ajarannya tetap hidup.

Sekarang dalam tradisi Buddhis, terdapat banyak alasan mengapa banyak Abhidharma muncul dan banyak komentar lanjutan tentang ajaran tersebut, adalah karena Buddha mengajarkan dua hal yang nampaknya cukup paradoks. Beliau mengajarkan anatta, gagasan bahwa tidak ada diri yang benar-benar ada, tapi beliau juga mengajarkan karma. Beliau mengajar kelahiran kembali. Jadi para penentang Buddhisme pada tahun-tahun awal Buddhisme di India bertanya kepada para penganut Buddha, “Bagaimana Anda bisa menjelaskan hal ini? Bagaimana Anda bisa memegang pandangan yang mengatakan bahwa kita memiliki karma dan kelahiran kembali, ketika Anda juga mengatakan bahwa tidak ada diri yang benar-benar ada? Tidak ada diri yang [benar-benar ada] sedang menjalani kelahiran kembali. Tidak ada [diri yang benar-benar ada] yang akan menerima konsekuensi masa depan dari perbuatan baik atau buruk seseorang saat ini. Jika Anda bersikeras tidak ada diri yang benar-benar ada, maka seluruh gagasan tentang karma dan kelahiran kembali akan runtuh. Untuk menjawab keberatan ini, penganut Buddha masa awal menghasilkan banyak teori, dan itulah yang Nagarjuna berusaha untuk mengurai dan mengomentarinya saat menulis Mulamadhyamakakarika.

Greek Buddha

Buddha Yunani  [t = 0:30:28]

Ada hal lain yang mungkin berpotensi menjadi ketertarikan historis. Saya sebutkan beberapa saat yang lalu bahwa versi tertulis pertama dari kata-kata Buddha ada di Sri Lanka sekitar abad ke-1 SM, sekitar 400 tahun setelah Sang Buddha meninggal. Dan ya, Buddhisme adalah tradisi lisan yang dihafalkan dan diserahkan, namun demikian ini adalah 400 tahun kemudian. Dan baru-baru ini ada beberapa beasiswa menarik yang menghubungkan Buddhisme dengan filsafat Yunani awal, khususnya filsafat skeptis Pyrrho dan sekolahnya. Karena sekarang kita tahu bahwa Alexander the Great pergi ke Asia Tengah dan ke India barat laut sekitar tahun 327-326 SM, dan filsuf besar Pyrrho dari Elis pergi bersamanya. Dan sudah disarankan, dan ada cukup bukti bagus untuk hal ini – jika Anda tertarik, saya mendorong Anda untuk membaca sebuah buku berjudul Greek Buddha oleh Christopher Beckwith – bahwa Pyrrho bertemu dan mendiskusikan filsafat dengan banyak filsuf Buddhis pada waktu itu. Jadi sekarang bukan abad ke-1 SM ini adalah abad ke-4 SM, yaitu tiga abad sebelum catatan Buddhisme paling awal di Canon Pali yang kita miliki saat ini. Kita sebenarnya memiliki beberapa manuskrip dengan tanggal dari Pyrrho, yang secara otentik berasal dari tahun 330-325 SM. Dan sangat menarik bahwa jika Anda membaca teks filosofi skeptis itu, Pyrrho mendasarkan filosofinya pada tiga karakteristik yang pada dasarnya sama dengan Tiga Corak dari Buddha yaitu anicca (ketidakkekalan), anatta (tidak ada diri) dan dukkha (penderitaan). Jadi ketika Rinpoche mengatakan bahwa gagasan Tiga Corak atau Empat Segel adalah dasar atau asal atau inti ajaran Buddhisme yang umum, mungkin ada sesuatu yang menarik yang dapat kita pelajari dari apa yang sebenarnya diajarkan di zaman Pyrrho. Jadi jika Anda tertarik, saya mendorong Anda untuk membacanya.

Antara Nagarjuna dan Chandrakirti  [t = 0:32:58]

Jika kita tertarik pada asal mula ajaran-ajaran ini, sebagian tantangannya adalah bahwa Rinpoche tidak segera mengajar Mulamadhyamakakarika dari Nagarjuna secara langsung, dan beliau juga belum mengajarkan Sutta Pali secara ekstensif, jadi kita harus melakukan sedikit sedikit memilah ini bersama untuk diri kita sendiri. Nagarjuna menulis sekitar akhir abad ke-2 Masehi, dan ada waktu yang lama antara saat dia menulis dan ketika Chandrakirti menulis pada abad ke-7 Masehi. Jadi banyak sekolah baru telah muncul, yang terpenting adalah sekolah Yogachara atau Cittamatra, yang didirikan oleh saudara laki-laki setengah setengah Brahmana, Asanga dan Vasubandhu. Mereka mengajar sekitar abad ke 4 atau 5 Masehi, jadi setelah Nagarjuna tapi sebelum Chandrakirti. Dan jika Anda membaca teks ini, banyak dari apa yang akan kita bahas di Madhyamakavatara milik Chandrakirti adalah sanggahan dari pandangan Cittamatra ini. Ini yang paling menantang para lawan-lawannya. Cittamatra mengajarkan hanya-batin, dan telah ditafsirkan sebagai semacam idealisme filosofis tapi juga sangat mirip dengan bentuk fenomenologi, yang sangat kontemporer dalam beberapa hal. Dan kita dapat mengatakan kepada diri sendiri bahwa tradisi Chandrakirti, Prasangika-Madhyamaka, yang memenangkan perdebatan tersebut. Tapi Yogachara-Svatantrika-Madhyamaka yang tumbuh dari sekolah Cittamatra, dan yang dikembangkan oleh Shantarakshita, tetap sangat berpengaruh dalam Buddhisme Tibet bahkan sampai sekarang, terutama dalam tradisi Nyingma dan dzogchen. Jadi, kita tidak sepenuhnya bermaksud menyelesaikan hal ini, dan kita akan kembali lagi ke sini dalam minggu-minggu depan.

Buddha, Polonnawura, Sri Lanka 512px

Kekosongan dalam sutta Pali  [t = 0:35:03]

Teks ini, Madhyamakavatara, tidak benar-benar membahas sejarah ajaran-ajaran mengenai kekosongan sebelum Nagarjuna, atau bahkan sumber dari sutta Pali. Jadi untuk menemukan itu, saya pergi ke beberapa guru Theravada dan secara khusus ada sebuah situs web hebat yang disebut ➜Access To Insight, yang memiliki lebih dari 1000 sutta dari Canon Pali. Bhikkhu Thanissaro, salah satu penulis situs tersebut, berbicara cukup banyak tentang sutta-sutta yang membahas kekosongan. Dia memiliki pengantar bagus dalam penerjemahnya terhadap ➜Sutta Maha-suññata (MN 122), di mana dia mengatakan bahwa ada tiga pendekatan yang berbeda terhadap kekosongan dalam sutta-sutta. Saya ingin berbicara sedikit tentang masing-masingnya.

MN 121

(1) Kekosongan sebagai tempat tinggal meditatif: di sini dia menyarankan bahwa teks sumber utamanya adalah Sutta Cula-sunnata (MN 121). Di sini Buddha, yang sedang berbicara dengan Ananda, mengatakan:

“Selanjutnya, Ananda, bhikkhu – tidak memperhatikan persepsi dari dimensi atas ketiadaan, tidak memperhatikan persepsi dari dimensi maupun persepsi dari non-persepsi – mengikuti ketunggalan berdasarkan atas konsentrasi tanpa-label dari kesadaran. Batinnya mengambil kesenangan, menemukan kepuasan, mengendap, & memanjakan diri dalam konsentrasi tanpa-label dari kesadaran.

“Dia melihat bahwa ‘Konsentrasi tanpa-label dari kesadaran ini dibentuk dan dibuat secara mental.’ Dan dia mengerti bahwa ‘Apapun yang dibentuk dan dibuat secara mental adalah tidak tetap dan subjek dari penghentian.’ Baginya – dengan mengetahui, sehingga melihat – batin dilepaskan dari limbah sensualitas, limbah untuk menjadi, limbah atas ketidaktahuan. Dengan melepaskan, ada pengetahuan, ‘Melepas.’ Dia mengerti bahwa ‘Kelahiran sudah berakhir, kehidupan suci terpenuhi, tugas telah dilakukan Tidak ada yang selanjutnya untuk dunia ini.’ “

Kita sudah bisa mulai melihat bahwa beberapa bahasa itu terasa asing: gagasan ini bahwa segala sesuatu yang dibuat, dibangun secara mental, tidak kekal dan akan hancur berantakan. Itu adalah bagian dari bagaimana kita juga berpikir mengenai kekosongan di dalam Mahayana.

SN 35.85

(2) Kekosongan sebagai atribut dari objek: Berikut adalah sumbernya adalah ➜Suñña Sutta (SN 35.85):

“Kemudian Yang Mulia Ananda pergi ke Yang Terberkahi dan pada saat tiba, setelah membungkuk kepadaNya, duduk di satu sisi. Ketika dia duduk di sana dia berkata kepada Yang Terberkahi,” Dikatakan bahwa dunia ini adalah kosong, dunia ini adalah kosong, tuanku. Dalam hal apa dikatakan bahwa dunia ini adalah kosong? “

“Sepanjang itu kosong dari diri atau apapun yang berkaitan dengan diri : Demikianlah dikatakan Ananda, bahwa dunia ini kosong. Dan apa yang kosong dari diri atau apapun yang berkaitan dengan diri? Mata adalah kosong dari diri atau apapun yang berkaitan dengan diri. Bentuk … Kesadaran akan mata … Kontak mata adalah kosong dari diri atau apapun yang berkaitan dengan diri.

“Telinga adalah kosong …

“Hidung adalah kosong …

“Lidah adalah kosong …

“Tubuh adalah kosong …

“Intelek adalah kosong dari diri atau apapun yang berkaitan dengan diri. Gagasan … Kesadaran-Intelektual … Kontak-intelektual adalah kosong dari diri atau apapun yang berkaitan dengan diri. Demikian dikatakan bahwa dunia adalah kosong.”

Ini adalah presentasi Shravakayana yang sangat klasik. Kita melewati semua lima agregat dan delapan belas dhatus, dan kita mengatakan bahwa masing-masing daripadanya sebagai kosong. Tapi itu menarik, karena jika Anda melihat ini dari perspektif Madhyamaka, Anda tidak akan mengatakan, “Lidah adalah kosong.” Anda akan berkata, “Tidak ada lidah.” Sekali lagi jika Anda membandingkan apa yang dikatakan oleh sutta ini, “Telinga adalah kosong, hidung adalah kosong … “, kedengarannya sangat mirip dengan Sutra Hati. Tapi di Sutra Hati kita tidak mengatakan “Telinga adalah kosong, hidung adalah kosong …”, kita bilang “Tidak ada telinga, tidak ada hidung …” Jadi kita sudah mulai mengerti bahwa ada cara berbeda yang kita bicarakan tentang kekosongan di Madhyamaka, cara yang berbeda saat kita berbicara tentang diri. Kita akan melihat ini nanti saat kita membahas perbedaan antara ajaran Shravakayana atau Theravada dan ajaran Mahayana Madhyamaka. Dan banyak keterkaitannya dengan gagasan Dua Kebenaran, di mana kita berbicara tentang hal yang relatif dan mutlak, dan semua hal ini terkait dengan perkembangan Mahayana selanjutnya.

SN 12.15

(3) Kekosongan sebagai bukan-diri : ini berasal dari ➜Kaccanagotta Sutta (SN 12.15). Bagian penting adalah di mana Buddha membahas pandangan benar, di mana beliau secara eksplisit mengatakan bahwa beliau menghindari ekstrem dari eksistensi dan non-eksistensi dan mengajarkan “melalui yang tengah”:

Ven. Kaccayana Gotta mendekati Yang Terberkahi dan, saat tiba, setelah membungkuk, duduk di satu sisi. Saat dia duduk di sana dia berkata kepada Yang Terberkahi: “Tuan, ‘Pandangan benar, pandangan benar,’ sebagaimana dikatakan. Hingga sejauh mana kah pandangan benar itu?”

“Pada umumnya, Kaccayana, dunia ini didukung oleh (mengambilnya sebagai objek) polaritas, oleh eksistensi dan non-eksistensi. Tetapi ketika seseorang melihat asal mula dunia sebagaimana adanya dengan penilaian yang benar, ‘ketidak-adaan’ dengan mengacu pada dunia dunia tidak terjadi pada satu (dunia tidak hanya mengacu pada yang dipikirkannya.-med) Ketika seseorang melihat terhentinya dunia seperti sebagaimana adanya dengan penilaian yang benar,’ eksistensi ‘dengan mengacu pada dunia tidak terjadi pada satu.

“Pada umumnya, Kaccayana, dunia ini terikat pada ragam keterikatan, ragam kemelekatan (sustenances), dan bias. Tetapi, seseorang yang seperti ini tidak terlibat dengan atau melekat pada ragam keterikatan, ragam keterikatan, fiksasi atas kesadaran, ragam bias, atau ragam obsesi ini; juga ia tidak berteguh pada ‘diri saya’. Dia yang tidak memiliki ketidakpastian atau keraguan bahwa hanya stres, ketika timbul, adalah timbul, stres, ketika berlalu, adalah berlalu. Dalam hal ini, pengetahuannya tidak tergantung pada orang lain. Sejauh ini, Kaccayana, bahwa ada nya pandangan benar itu.

“Segala sesuatu ada”: Itu adalah sesuatu yang ekstrem, “Semuanya tidak ada”: Itu adalah ekstrem kedua: Menghindari kedua ekstrem ini, Tathagata mengajarkan Dhamma melalui yang tengah”

Nagarjuna 466px

Nagarjuna dan sutta Pali  [t = 0:41:28]

Nagarjuna sendiri mengatakan bahwa sutta yang sama ini, Sutta Kaccanagotta (yang juga dikenal dengan Instruksi untuk Katyayana) adalah sumber dimana dia mendasarkan Mulamadhyamakakarika. Anda bisa melihat ini di Bab 15 syair 6 dan 7 dari Mulamadhyamakakarika, di mana dia berkata:

[15:6] Sifat alami intrinsik dan sifat alami ekstrinsik, ada dan tidak ada -
 siapa yang melihat ini tidak melihat kebenaran dari ajaran Buddha.


[15:7] Dalam Instruksi untuk Katyayana, keduanya “itu ada” dan “itu tidak ada” 
ditolak oleh Yang Terberkahi, yang dengan jelas melihat keberadaan dan ketanpa-beradaan.

Sebagian alasan saya menyebutkan semua ini adalah karena saya senang melihat bahwa sudah ada beberapa diskusi yang terjadi di Forum, dan salah satu pertanyaan yang diajukan adalah apa cara yang tepat untuk membicarakan tentang tanpa-diri, bukan-diri, tidak ada pandangan atas diri, dan seterusnya – bagaimana kita bisa memahami hal ini? Saya pikir sangat mudah untuk menjadi bingung dengan semua ini, jadi kita akan membahas tentang ini secara lebih pada hari ini. Dan saya benar-benar mendorong Anda untuk meluangkan waktu untuk bertanya pada diri Anda sendiri bagaimana cara berpikir Anda tentang kekosongan? Bagaimana Anda mengartikulasikannya dalam istilah dari tanpa-diri atau bukan-diri atau tidak ada pandangan atas diri? Karena sebenarnya terdapat perbedaan yang nyata.

Di sini kita berada di Madhyamaka sekarang, di mana Nagarjuna pendiri kita sangat jelas menyatakan bahwa para Buddha tidak memiliki pandangan : tidak ada eksistensi juga tidak non-eksistensi, tidak pula bukan, atau keduanya. Namun kita masih memiliki tantangan bahwa kita memiliki semua ajaran-ajaran relatif tentang karma dan kelahiran kembali dan bagaimana menegakkan Delapan Jalan Mulia, bagaimana untuk bertindak dengan cara yang benar dan bukan yang salah. Jadi kita masih memiliki tantangan yang sama: entah bagaimana kita butuh arahan, meski kita tidak punya pandangan. Dan dalam ajaran, legenda tersebut mengatakan bahwa ketika Buddha pertama kali mengajarkan Sutra Hati di Gunung Puncak Hering (vulture), ada 500 arhat di antara pendengar yang mendengarkan, dan ketika mereka mendengar beliau mengajarkan kekosongan agung mereka semua mengalami serangan jantung dan meninggal dunia. Mungkin ini sedikit puitis, tapi intinya cukup jelas. Ini adalah tantangan sulit bagaimana cara kekosongan ditafsirkan di dalam Shravakayana. Jadi saya benar-benar mendorong Anda untuk berdebat, belajar, mengikuti Forum, bertengkar ramah mengenai hal-hal ini – saya pikir sangat baik untuk menantang pemahaman diri Anda sendiri. Dan seperti yang dikatakan Rinpoche, saat kita membaca teks ini, beliau benar-benar mendorong kita untuk tidak melihat lawan kita sebagai sekolah filosofis India kuno yang sudah mati dan ide-ide yang ketinggalan jaman. Tapi lebih pada, bagaimana mereka tetap hidup di sini dan sekarang, hari ini? Bisa jadi cara kita mendekati dunia. Bisa jadi seperti cara kita mendekati Madhyamaka. Kita akan menemukan bahwa dengan banyaknya pandangan yang dipegang oleh lawan kita, kita sebenarnya membawa mereka pada diri kita sendiri dari waktu ke waktu.

halaman 6

Chandrakirti akan membangun pandangan dengan menunjukkan bahwa tidak ada kelahiran  [t = 0:45:14]

Sekarang membahas melalui teks, terlalu banyak yang ada di sini untuk saya memberi komentar secara mendetail tentang segala hal yang diajarkan Rinpoche. Terdapat 60 halaman dalam komentar untuk pra-bacaan minggu ini, jadi saya tidak akan bisa menyelesaikan semua ini. Menurut saya banyak yang cukup jelas, jadi saya akan meluangkan lebih banyak waktu di bagian yang kurang jelas.

Jadi bagaimana Chandrakirti akan membangun pandangan? Dia akan membangunnya bahwa tidak ada eksistensi sejati dengan menunjukkan bahwa tidak ada asal usul. Banyak dari apa yang akan kita bicarakan adalah gagasan tentang asal atau kelahiran. Seperti kata Rinpoche, ini sangat sesuai dengan persepsi biasa kita, karena ketika kita berpikir untuk memvalidasi sesuatu yang kita tanyakan, “Dari mana asalnya? Di mana itu dibuat? “Misalnya, jika kita melihat tas Louis Vuitton – apakah itu benar-benar asli? Atau apakah itu ditemukan di suatu tempat di jalanan Bangkok, palsu? Dan kita semua secara intuitif mengerti ada perbedaan antara kebenaran atau barang asli dan yang palsu. Tapi bukan itu saja.

Ini benar-benar kembali pada pertanyaan yang mulai kita renungkan minggu lalu, pertanyaan filosofis yang abadi. Bagaimana seharusnya kita hidup? Apa itu hidup yang baik? Bagaimana kita harus mengerti apa yang benar, apa yang baik? Dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita memerlukan semacam dasar, semacam pondasi. Kita tidak bisa hanya mengatakan, karena beberapa guru kesadaran kontemporer mungkin berkata, “Jangan menghakimi.” Karena dengan begitu kita tidak dapat memahami apa yang baik dan apa yang buruk. Kapan kita harus belok kiri atau belok kanan? Kita butuh semacam pandangan. Kita membutuhkan semacam dasar untuk tindakan kita. Dan inilah yang akan kita mulai.

Jadi mari kita beralih ke halaman 11 di teks. Saya akan memberi Anda referensi halaman [dalam Pengenalan ke Jalan Tengah, komentar PDF dari Dzongsar Khyentse Rinpoche tentang Madhyamakavatara] seiring menjalani pengajaran kita, sehingga Anda dapat mengikutinya dari buku jika Anda suka.

BAGIAN ISI UTAMA DARI TEKS

1:1

halaman 11

Penghormatan: pujian untuk welas asih  [t = 0:47:47]

Dengan empat syair pertama kita mulai dengan sebuah penghormatan, dalam hal ini sebuah pujian untuk welas asih. Dan seperti yang mungkin Anda ketahui dalam ajaran Buddhis, dan tentu saja dalam tradisi India, adalah sangat tradisional untuk menunjukkan penghormatan kepada silsilah dengan mempersembahkan pujian dan penghormatan. Dan dalam kasus ini, kita memiliki pujian untuk welas asih.

[1:1] Shravaka dan pratyekabuddhas terlahir dari raja Muni;
Buddha terlahir dari bodhisattva;
Dan, dari batin welas asih, non-dualitas dan
Bodhicitta terlahirkanlah bodhisattva.

Jadi Anda mungkin bertanya mengapa kita memuji welas asih daripada kebijaksanaan? Mengapa kita memuji bodhisattva dan bukan Buddha dan Tiga Permata. Secara tradisional ketika kita mempersembahkan pujian di dalam Dharma, kita mempersembahkan pujian kepada Tiga Permata: Buddha, Dharma dan Sangha.

halaman 12

Di halaman 12, Rinpoche juga berbicara tentang perbedaan antara Shravakayana dan Mahayana. Jalan yang kita pilih untuk ikuti tergantung pada tujuan kita: apakah kita mencari nirwana atau apakah kita mencari pencerahan yang sempurna? Dan ini sedikit ke depan dari tempat kita berada, tapi di halaman 169 Rinpoche mengatakan ada dua jenis pendengar, dan Buddha mengajar untuk keduanya. Mereka memiliki berbagai jenis motivasi.

  • Beberapa siswa memiliki motivasi untuk membebaskan dirinya sendiri dari penderitaan duniawi ini. Mereka bisa melihat tidak bermaknanya (dunia ini-med). Mereka bisa melihat itu tidak ada gunanya, dan pada akhirnya itu hanya berputar-putar di roda samsara ini. Jadi mereka ingin melarikan diri. Dan untuk mereka Buddha mengajarkan untuk melepaskan diri dari kemelekatan atas diri, karena kemelekatan pada diri sendiri lah yang menyebabkan semua masalah samsara ini. Tapi ada kelompok lain yang tidak hanya puas dengan pembebasan dari samsara.
  • Mereka menginginkan pembebasan melampaui semua pandangan. Mereka ingin melampaui samsara dan juga melampaui nirwana. Ini adalah bodhisattva.

Teks ini ditujukan untuk para bodhisattva. Ini adalah untuk pandangan yang lebih besar, jadi kita tidak hanya akan memeriksa apa jalan menuju nirwana, yang juga di bahas dalam ajaran Shravakayana, tapi bagaimana cara mencapai pencerahan yang sepenuhnya dan lengkap? Dan bagian dari apa yang kita katakan di sini adalah bahwa nirwana dan pencerahan sebenarnya bukanlah hal yang sama. Kita juga akan sedikit membicarakannya juga.

1:1cd

halaman 14

Kasih sayang, nondualitas dan bodhicitta  [t = 0:50:25]

Ketika kita berbicara tentang mengapa kita memuji belas kasih pada halaman 14, kita berbicara tentang tiga penyebab berurutan dari bodhisattva: batin welas asih, nondualitas dan bodhicitta.

[1:1cd] Dan, dari batin welas asih, non-dualitas dan
Bodhicitta terlahirkanlah bodhisattva.

Dan sebenarnya welas asih dan nondualitas, merupakan cara lain untuk berbicara tentang kebijaksanaan – ketika welas asih dan nondualitas bersatu, itulah yang membentuk bodhicitta. Anda bisa mengatakan bahwa yang ketiga inilah yang membentuk dua yang pertama. Dan Rinpoche menekankan bahwa ya, welas asih adalah titik awal, tapi welas asih itu sendiri tidak cukup, karena welas asih tanpa nondualitas membawa Anda untuk menjadi korban dari welas asih Anda. Jadi saat kita mengatakan ‘welas asih’, apa itu welas asih? Ini lebih dari sekadar simpati. Ini lebih dari sekadar merasa kasihan pada orang saat kita melihat mereka menderita. Ini sebenarnya melibatkan rasa pengertian. Jika Anda berada di sepatunya (dipihaknya), Anda akan mengerti apa yang sedang dia alami. Dan seperti yang Rinpoche katakan, anehnya di bawah definisi ini bahkan orang yang kejam, seseorang yang berusaha menimbulkan rasa sakit atau penderitaan pada orang lain, Anda dapat membantah bahwa mereka pasti memiliki semacam welas asih di suatu tempat, karena mereka mengetahui perbedaan antara apa yang menyebabkan penderitaan dan apa yang tidak menyebabkan penderitaan Sebaliknya jika satu cabang pohon jatuh di kepala Anda, pohon itu tidak memiliki niat. Ini tidak memiliki welas asih. Ia tidak memiliki kemampuan untuk memahami perbedaan antara bahaya dan tidak membahayakan. Makhluk hidup berbeda dari pohon dalam hal itu.

Jadi, bagaimana rasanya memiliki welas asih tanpa kebijaksanaan? Kita bisa berbicara dengan cara kontemporer tentang memiliki batasan yang tidak jelas. Seperti yang dikatakan Rinpoche, misalnya mungkin kita memiliki tujuan untuk memperbaiki orang. Dan tentu saja bodhisattva tidak seperti itu. Ya bodhisattva memiliki welas asih tetapi mereka tidak memiliki orientasi pada tujuan, yang mungkin bagi kita pemula mungkin tampak sedikit aneh. Karena kita berpikir “Oh, saya pikir aspirasi saya adalah untuk membantu orang lain?” Nah, aspirasi kita memang untuk pencerahan semua orang. Tapi bodhisatwa sendiri telah melampaui pemahaman dualistik tentang diri sendiri dan orang lain. Jadi bagi mereka, tindakan mereka tidak termotivasi oleh dualisme semacam ini. Seperti yang akan kita lihat nanti, matahari hanya bersinar. Ia tidak memiliki niat untuk bersinar hanya pada orang tertentu. Jika seseorang ingin menerima sinar matahari, mereka pergi ke luar rumah dan mendapat matahari. Pemahaman tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan Buddha sangat mirip. Kita akan sampai ke situ juga. Jika Anda kembali ke Ten Bulls (10 Banteng), dan lihatlah gambar dan puisi untuk banteng ke-10, ini sangatlah mirip: kita memiliki orang bijak di pasar. Dia tidak memiliki niat (dalam arti dualistik biasa) tentang memberi manfaat kepada makhluk, tapi hanya melalui kehadirannya, seseorang dapat memperoleh manfaatnya. Citra ini sangat banyak dibicarakan tentang buah dari jalan bodhisattva.

Cara lain untuk memahami jenis welas asih yang membawa kita ke dalam masalah adalah misalnya bahwa welas asih tanpa kebijaksanaan dapat menyebabkan empati yang melelahkan. Ini juga adalah tantangan bagi banyak orang yang memiliki profesi mengasuh seperti perawat, tapi juga bagi orang-orang seperti penjaga penjara. Ada data bahwa ketika penjaga penjara pensiun, banyak dari mereka meninggal dalam beberapa tahun pertama setelah pensiun. Ini karena mereka sangat lelah karena harus menghadapi tuntutan dari tugas-tugas mereka.

Rinpoche baru-baru ini mengajar di Meksiko, dan di sana beliau mengajar tentang bagaimana bila kita bercita-cita untuk membebaskan semua makhluk hidup, itu mungkin terdengar tidak mungkin. Semua makhluk hidup? Bagaimana saya bisa melakukan itu? Saya hampir tidak memiliki pengaruh positif pada beberapa lusin orang dalam hidup saya. Sepertinya tidak ada artinya membicarakan semua makhluk. Namun itu tidak hanya berfungsi sebagai aspirasi. Ini juga berfungsi sebagai ‘tujuan yang dilebihkan’, seperti yang mungkin dikatakan seorang manajer, yang memaksa kita untuk menghadapi asumsi kita. Dan itu membawa kita melampaui pemahaman rasional kita, karena kita tidak dapat memahami gagasan ‘membebaskan semua makhluk hidup’ dengan konsep rasional kita yang sempit. Jadi benar-benar kita mulai mendekati nondualitas.

1:2

halaman 16

Mengapa welas asih hadir lebih dulu?  [t = 0:55:09]

Jadi kita katakan bahwa kita mulai dengan welas asih kemudian nondualitas, dan kemudian keduanya mengarah ke bodhicitta. Mengapa welas asih dulu? Welas asih hadir lebih dulu karena itu adalah benihnya, adalah seperti air yang menyirami tanaman kita, dan kemudian buah yang ditimbulkan dari tanaman itu.


[1:2] Welas asih sendiri adalah benih pertama untuk panen berkelimpahan dari kebuddhaan;
Kemudian air untuk pertumbuhannya,
Dan akhirnya, apa yang membuahkan sebagai keadaan kenikmatan yang abadi –
Karena itu, pertama-tama saya memuji welas asih.

Rinpoche sering mengajarkan tentang perbedaan antara aspirasi dan aplikasi (penerapan) bodhicitta, dan beliau mengatakan ya tentu saja kita ingin terlibat dalam aplikasi bodhicitta, tapi itu menantang. Sedangkan aspirasi itu bagus, itu adalah sesuatu yang kita semua bisa lakukan, sesuatu yang tidak membutuhkan alasan tidak melakukannya kapan saja. Tidak ada alasan untuk tidak memiliki aspirasi bodhicitta. Jadi kita selalu bisa memulai dengan menumbuhkan rasa welas asih, dan bahkan jika nondualitas – tahap yang kedua – mungkin merupakan tantangan di awal, tidak ada alasan untuk tidak melakukan welas asih.

Sekarang ada pertanyaan menarik selama ajaran tahun 1996, bukan secara langsung dari komentar tapi saat Rinpoche menjawab pertanyaan, dan seseorang bertanya kepadanya “Apakah Buddha memiliki welas asih?” Dan di sini Rinpoche menjelaskan bahwa Buddha tidak memiliki motivasi dualistik. Buddha tidak memiliki subjek dan tidak memiliki objek. Jadi Buddha menguntungkan para makhluk seperti halnya matahari saat bersinar, atau seperti pohon yang memenuhi harapan. Dan ketika kita berbicara tentang Buddha yang memiliki welas asih, itu adalah proyeksi yang di buat makhluk hidup atau untuk menempatkan Buddha. Welas asih Buddha terlihat dari sudut pandang kita. Seperti yang dikatakan Rinpoche, ingatlah bahwa keberadaan Buddha berasal dari sudut pandang kita. Seperti yang kita lihat di Sutra Hati dan Sutra Intan, kita bahkan tidak dapat mengatakan bahwa Buddha ada. Jadi mungkin kita mulai menjadi sedikit lebih akrab dan nyaman dengan gagasan bahwa pemahaman polos kita tentang Buddha mungkin tidak sepenuhnya akurat. Saya pikir banyak dari kita sangat akrab dengan pendekatan teistik untuk ini. Kita memikirkan Buddha dengan istilah yang mirip tuhan, dan di banyak negara Asia orang berdoa kepada Buddha untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Mereka berdoa kepada Buddha untuk sukses dalam bisnis. Ini sangat teistik, seolah ada seseorang yang kuat di luar sana yang bisa memberikan bantuan kepada kita jika dia senang dengan kita. Ini sangat dualistik. Sedangkan Rinpoche sangat mendorong kita untuk menerapkan kebijaksanaan Jalan Tengah untuk memahami Buddha. Jika kita dapat belajar untuk melampaui pola kebiasaan teistik kita dan belajar untuk melihat Buddha sebagai proyeksi kita, maka kita mulai akan memiliki pemahaman nondual yang lebih banyak.

1:3

halaman 19

Tiga jenis welas asih  [t = 0:58:00]

Ada tiga jenis welas asih, yang dibedakan dari objek nya, dengan kata lain dibedakan oleh berbagai jenis makhluk dengan berbagai jenis kekotoran batin.


[1:3] Awalnya terpaku pada apa yang disebut ‘aku’ sebagai diri yang ada,
‘Milikku’ menimbulkan genggaman.
Makhluk yang tak berdaya, didorong sebagai roda irigasi,
Untuk welas asih atas ini, aku sujud.

Dan banyak dari apa yang akan membantu kita memahami adalah tahapan perkembangan di jalan.

  • (1) Makhluk hidup mengalami dua jenis penderitaan: Jenis welas asih pertama adalah terhadap makhluk hidup yang menderita dari penderitaan atas penderitaan dan penderitaan akibat perubahan. Ini berbicara tentang kualitas dukkha yang menyeluruh (tidak memuaskan) dan anicca (ketidakkekalan) di samsara. Dan ini disebut ‘welas asih biasa’, karena misalnya orang Hindu juga memilikinya. Dan objek dari jenis kasih sayang pertama ini mencakup semua makhluk biasa, dan juga shravaka dan pratyekabuddha di jalan. Dengan kata lain, siapa saja yang terlahir kembali karena karma dan emosi.
1:4ab

halaman 21

Untuk jenis welas asih kedua dan ketiga, kita sekarang beralih ke dua baris pertama dari syair ke 4.


[1:4ab]: Makhluk hidup adalah seperti pantulan bulan dalam air yang bergerak.
Melihat mereka sebagai kosong dalam perubahan dan sifat alamiah mereka

Di sini kita memiliki sebuah gambaran, mungkin sebuah danau pada malam yang berangin, dimana kita tidak bisa melihat bayangan yang jelas di permukaan danau karena bergelombang. Padahal kalau kita ke sana pada hari yang tenang, maka semuanya tampak jelas. Ini sudah membawa kita ke kilasan dari apa yang akan kita bahas di Bab 6.

  • (2) Makhluk hidup mengalami penderitaan karena penggabungan: Untuk jenis kedua dari welas asih, (bagian) komentar mengatakan bahwa kita harus memberi penekanan pada “air bergerak” dan “perubahan”. Jadi dalam analogi ini danau itu samsara, dan angin adalah karma, emosi, dualisme dan ego yang membangkitkan samsara dan menyebabkan penderitaan. Analogi itu bekerja dengan sangat baik, karena ketika kita digerakkan oleh emosi dan ego, kita tidak bisa melihat dengan jelas. Objek untuk jenis welas asih kedua ini mencakup semua makhluk hidup yang termasuk objek untuk jenis welas asih pertama, dan juga shravaka arhat dan pratyekabuddha yang telah merealisasi hasilnya, dan semua bodhisattva sampai ke bhumi ke 10 saat meditasi mereka.

Sekali lagi, ini adalah perbedaan yang sangat besar antara jalan Mahayana dan Shravakayana atau Theravada, karena di Shravakayana, setelah Anda mencapai hasil arhat atau pratyekabuddha, tidak ada lagi yang dapat dilakukan pada saat itu. Padahal di sini, kita mengatakan bahwa mereka masih memiliki beberapa kekotoran batin, oleh karena itu mereka masih merupakan objek welas asih. Seperti yang telah kita katakan sebelumnya: apakah keadaan nirwana yang dicapai oleh arhat sama dengan pencerahan? Pada ajaran Shravakayana akan mengatakan ya, di sini di Mahayana kita mengatakan tidak. Hal ini juga dianggap sebagai welas asih umum.

  • (3) makhluk hidup yang sepenuhnya tidak menyadari kekosongan: Untuk jenis welas asih ketiga, kita menekankan pada kata-kata “refleksi” dan “kosong”, dan jenis welas asih ini sekarang mencakup semua orang yang belum sepenuhnya mengerti kekosongan fenomena, dengan kata lain tidak ada eksistensi dari fenomena. Ini dianggap welas asih yang tidak biasa, karena melibatkan tanpa-diri dari keduanya orangnya dan fenomena. Sebaliknya, realisasi dari ke tanpa-ego-an, yang dibutuhkan untuk mencapai nirwana, hanyalah kurangnya eksistensi sejati diri seseorang, namun tidak harus dari fenomena. Objek welas asih jenis ketiga ini mencakup semua objek sebelumnya dan bahkan waktu meditasi dari bodhisattva bhumi ke-10. Satu-satunya hal yang tidak termasuk adalah keadaan terakhir dari pencerahan Buddha.

Sekarang kita bisa bertanya kepada diri kita sendiri apa kekotoran batin terakhir yang seharusnya masih harus disucikan saat Bodhisattva berada pada bhumis terakhir ini. Uttaratantra-shastra dari Maitreya mencantumkan sembilan kekotoran batin tuntuk dimurnikan di jalan (dalam syair 132-133), dan kekotoran batin ini menjadi semakin halus saat kemajuan bodhisattva dalam jalan. Pada saat bodhisattva berada pada “bhumis murni” (bhumis ke 8 sampai 10), hanya satu kekotoran yang sangat halus yang tersisa, dan untuk menghilangkan kekotoran ini mereka harus menerapkan penangkal yang paling kuat, ‘obat penawar mirip vajra’ (Uttaratantra-shastra, syair 142). Menurut tradisi Vajrayana dan mahasandhi, kekotoran akhir inilah yang ingin mereka bersihkan.

halaman 24

Menjelaskan tingkat-tingkat bodhisattva (bhumis)  [t = 1:02:07]

Kita sekarang terus mengeksplorasi gagasan tentang bagaimana kita memikirkan perkembangan di jalan. Apa itu bhumi? Ini adalah kombinasi antara kebijaksanaan dan metode (juga dikenal sebagai ‘cara yang terampil’, bahasa Sanskerta: upaya). Dalam bahasa Sanskerta, kata bhumi berarti ‘bumi’ atau ‘negara’, dan bahkan hari ini di Malaysia mereka menggunakan kata bhumiputera yang berasal dari bahasa Sanskerta untuk merujuk pada ras Melayu dan masyarakat adat Asia Tenggara, di mana putra berarti anak laki-laki dan bhumi berarti bumi atau tanah, maka ‘anak dari tanah’. Dan menekankan bahwa seorang bhumi adalah kombinasi antara kebijaksanaan dan metode, sama seperti bodhicitta adalah kebijaksanaan dan welas asih. Jadi, welas asih disini berhubungan dengan Rupakaya, untuk membentuk, untuk metode, maka berlatih dengan cara yang terampil, penguasaan. Dimana kebijaksanaan adalah Dharmakaya, yang berhubungan dengan kekosongan saat kita memikirkannya dalam bentuk dan kekosongan. Dan seperti kata Rinpoche, jika Anda memiliki kebijaksanaan tapi tidak punya metode, maka kita berbicara tentang jalan shravaka dan pratyekabuddha. Tapi jika Anda memiliki metode tapi tidak memiliki kebijaksanaan, maka itu hanyalah makhluk biasa. Kembali ke apa yang kita katakan tentang perhatian penuh: Anda mungkin memiliki teknik, memiliki metode, tapi tanpa kebijaksanaan.

Dan dalam hal membedakan bhumi yang berbeda ini, Anda tidak dapat mengklasifikasikan bodhisattva selama keadaan meditatifnya. Dalam setelah-meditasi, Anda bisa mengenali kualitas mereka, tapi bhumi yang lebih rendah tidak dapat membedakan atau mengenali tingkat bodhisattva dengan bhumi yang lebih tinggi. Dan mungkin yang paling penting di sini adalah ketika kita berbicara tentang bhumi ini, kita membicarakannya sejauh mana para bodhisattva telah menghilangkan kekotoran batin nya. Jadi kemajuan kita di sepanjang jalan diukur bukan dalam hal berapa banyak kita menambahkan, tapi dalam hal berapa banyak yang kita hilangkan. Dan kita mencapai hasil yaitu hasil dari eliminasi (penghilangan) (dreldré). Rinpoche mengajarkan hal ini dengan sangat rinci saat beliau mengajarkan ajaran Uttaratantra-shastra Maitreya tentang sifat Buddha.

1:4cd-1:5ab

halaman 26

Bhumi Pertama  [t = 1:04:18]

Dengan dua baris kedua dari syair 4 dan dua baris pertama dari syair 5 kita sekarang memulai bhumi pertama. Kita telah selesai melakukan penghormatan dan pujian, dan sekarang kita benar-benar memulai teks utama dan bhumi.


[1:4cd] Putra dari yang Pemenang, memiliki pengertian seperti itu,
Dan menaklukkan dengan welas asih, keinginan untuk benar-benar membebaskan semua makhluk. 
[1:5ab] Sepenuhnya mendedikasikan seperti dalam (doa)
Aspirasi Samantabhadra,
Sukacitanya sudah lengkap. Ini dikenal sebagai yang pertama.

Anda akan melihat bahwa Chandrakirti berjalan sangat cepat melalui lima bhumi pertama, sangat mungkin karena dia menganggap bahwa pembacanya sudah mengenalnya. Dan memang, teks sumbernya adalah Dashabhumika-Sutra, Sutra Sepuluh Bhumi, dan sutra itu sendiri banyak berbicara tentang sepuluh bhumi. Jadi, tidak banyak tentang hal itu dalam teks ini, kecuali eksplorasi bhumi keenam yang sangat rinci di Bab 6. Jadi, jika Anda belum memiliki kesempatan untuk mempelajari paramita atau bhumi dan Anda ingin belajar lebih banyak, Saya akan mendorong Anda untuk membaca teks seperti Words of My Perfect Teacher (= kata-kata dari guru ku yang sempurna), di mana pada bagian bodhicitta memiliki pengantar yang sangat bagus. Atau teks klasik mengenai bodhicitta, Bodhicharyavatara dari Shantideva. Dan dalam kedua kasus tersebut, mereka membahas secara lebih rinci tentang isi dari paramita ini, dan ya dalam kedua teks tersebut, juga menyinggung tentang bodhicitta mutlak, yang muncul di sini dalam paramita ke-6 dari kebijaksanaan. Tapi karena Chandrakirti mengambil pendekatan yang jauh lebih singkat, dia benar-benar fokus pada aspek nondual (= tidak mendua) dari paramita. Dan dia berbicara sedikit tentang perbedaan jelas antara apa yang menjadi praktik dualistik dengan praktik nondual, dengan kata lain praktik yang didasarkan pada pandangan Jalan Tengah.

halaman 27

bahasa Pandangan dan bahasa Jalan  [t = 1:06:06]

Di halaman 27 ada pertanyaan lain yang sangat membantu yang Rinpoche jawab dengan mengenalkan bahasa Jalan dan bahasa Pandangan. Menurut saya ini penting karena sudah beberapa pertanyaan yang Anda ajukan menyentuh perbedaan ini. Misalnya, banyak dari Anda bertanya bagaimana pandangan nondual ini, pandangan mutlak ini, penerapannya ke latihan dan ke pengalaman, karena sepertinya mereka seharusnya terhubung tapi bagaimana kita menghubungkannya? Kita akan membahasnya nanti di Minggu 5 ketika kita membicarakan Dua Kebenaran, tapi untuk saat ini kita sudah bisa membedakan antara bahasa dari Pandangan dan Jalan. Bahasa Pandangan berbicara tentang kebenaran – apa yang benar? Apa yang nyata? Apa yang mutlak ada atau tidak ada? Dan kemudian bahasa Jalan adalah ketika kita berbicara tentang pengalaman atau perjalanan sang praktisi. Ini jauh lebih subjektif, lebih banyak pertanyaan-pertanyaan seperti – bagaimana saya bisa memiliki devosi kepada guru? Bagaimana saya bisa berlatih sehingga bisa meninggalkan kekotoran batin? Seperti yang ditunjukkan Rinpoche, ini adalah dua jenis pertanyaan yang berbeda. Ini akan menjadi tantangan, dan saya membayangkan kita akan terjebak dalam hal ini dalam beberapa minggu mendatang. Tapi saya ingin mengatakannya sekarang. Bila Anda memiliki pertanyaan, pikirkan saja – apakah saya mengajukan pertanyaan tentang pandangan atau apakah saya mengajukan pertanyaan tentang jalan? Apakah ini tentang bahasa pandangan atau tentang bahasa jalan, karena mereka berbeda. Seperti yang kita lihat di dalam sutra, satu lebih banyak tentang kebenaran tertinggi (mutlak) dan satu lagi tentang kebenaran relatif. Dan ya pada akhirnya kita akan menemukan cara untuk menghubungkan satu dengan lainnya, tapi sangat penting untuk memahami bahwa mereka berbeda.

Jika tidak ada pencerahan, apa gunanya berlatih?  [t = 1:07:55]

Seperti yang Rinpoche katakan, kita membutuhkan bahasa jalan untuk mendorong praktisi seperti kita. Dan bagian dari tantangannya adalah bahwa ajaran yang berbicara tentang jalan itu semuanya adalah ajaran yang relatif. Mereka lebih kepada ajaran sementara daripada ajaran definitif (pasti). Jadi, dalam pengertian bahwa semua ajaran jalan bisa dikatakan tidak benar sampai tingkat tertentu, atau ‘palsu’ seperti kata Rinpoche. Namun kita masih perlu mempraktikkannya. Kita masih perlu mendengar dan mempraktikkan ajaran ini untuk mewujudkan pandangan. Seperti kata Shantideva yang terkenal, ya jalan kita adalah tentang menyingkirkan dan melepaskan kekotoran batin dan ketidaktahuan kita, tapi kekotoran terakhir, ketidaktahuan terakhir yang ingin kita tinggalkan adalah gagasan bahwa adanya pencerahan. Pada akhirnya, seperti kata Nagarjuna, kita ingin sampai di tempat di mana kita tidak lagi memiliki pandangan. Seperti yang dikatakan Sutra Intan, bahkan Buddha, bahkan pencerahan, kita tidak bisa mengatakan hal-hal ini ada. Tapi jika kita mengatakannya terlalu cepat, jika kita belum siap, jika kita melepaskan aspirasi itu saat kita tidak menempuh jalan dan kita belum menghilangkan ketidaktahuan kita yang lain dan kekotoran batin kita yang lain, maka kita mungkin saja menjadi nihilistik. Kita mungkin menyerah begitu saja. Kita mungkin hanya mengatakan “Jika tidak ada pencerahan, apa gunanya berlatih?” Dan kemudian kita tidak akan mencapai apapun. Kita benar-benar akan menghancurkan Dharma karena kita hanya akan puas dengan ketidaktahuan kita yang tak tersentuh. Jadi sekali lagi, ini sangat paradoks, seperti yang akan sering kita temukan dalam pengajaran ini. Kita perlu memiliki jalan, meski jalurnya palsu, karena jalan palsu ini adalah satu-satunya yang bisa membawa kita pada perwujudan kebenaran. Ini adalah paradoks besar.

1:5cd

halaman 27

Apa artinya menjadi bodhisattva?  [t = 1:09:52]

Sekarang di halaman 28, kita bertanya apa artinya menjadi Bodhisattva, dan pertama-tama kita akan membicarakan namanya. Untuk orang seperti apa kita memberi nama ini ‘bodhisattva’?

[1:5cd] Dengan pencapaian ini, mulai sekarang
Dia dikenal sebagai bodhisattva

Dalam syair 5 kita mengatakan bahwa kita dapat melakukan ini dengan dua cara. Entah dengan tindakan dan latihan, atau dengan pandangan.

(1) Mendefinisikan apa yang dimaksud menjadi Bodhisattva dengan tindakan (latihan)

Ketika kita menetapkan nama tersebut dengan tindakan dan latihan, di sini kita perlu merenungkan apa yang Shantideva bicarakan dalam hal ‘memasuki bodhicitta’ dan ‘bodhicitta aplikasi’. Keinginan atau aspirasi adalah berbeda dari memasuk atau aplikasi (penerapan). Dan ketika kita mulai, karena Rinpoche mengatakan bahwa aspirasi itu bagus, tapi hanya memiliki aspirasi, hanya memiliki keinginan sepintas untuk mencerahkan semua makhluk hidup, adalah berbeda dengan melakukan komitmen diri pada jalan. Dan aplikasi bodhicitta atau memasuki bodhicitta hanya dimulai saat Anda membuat komitmen bahwa sejak saat itu dan seterusnya segala sesuatu yang Anda lakukan hanyalah untuk mencerahkan semua makhluk hidup. Dalam istilah yang lebih kontemporer, kita bisa mengatakan bahwa ini adalah pilihan eksistensial. Entri Wikipedia tentang ➜existentialisme mengatakan:

Eksistensi otentik melibatkan gagasan bahwa seseorang harus “menciptakan diri sendiri” dan kemudian hidup sesuai dengan diri ini […] Tindakan otentik adalah tindakan yang sesuai dengan kebebasan seseorang.

Jadi, ada anggapan bahwa kita harus mengubah cerita yang kita ceritakan tentang diri kita sendiri, tentang siapa diri kita, tentang apa hidup kita – apa tujuan kita? Kita harus terlibat dalam diri-penentu yang sangat disengaja dimana sekarang kita menentukan diri kita menjadi bodhisatwa. Ada rekreasi eksplisit atau penciptaan identitas baru untuk diri kita sendiri. Dan pada saat itu kita dapat menganggap diri kita bodhisattva seperti yang didefinisikan oleh tindakan atau latihan. Jadi ini adalah perbedaan besar untuk direnungkan oleh diri sendiri. Ketika Anda memikirkan cerita Anda, ketika Anda memikirkan bagaimana Anda menggambarkan gairah, tujuan, tentang apa hidup Anda, apa pekerjaan Anda, bagaimana Anda berhubungan dengan dunia, dengan ragam hubungan, untuk bekerja – bagaimana Anda melakukan ini? Apa narasi Anda? Ketika seseorang bertanya kepada Anda mengapa Anda melakukan ini, jawaban apa yang Anda berikan? Dan apakah jawabannya, “karena saya ingin membawa semua makhluk ke pencerahan”? Apakah itu jawaban Anda? Ini adalah refleksi yang bagus.

(2) Mendefinisikan apa artinya menjadi Bodhisattva dengan pandangan (realisasi)

Cara kedua untuk mendefinisikan bodhisattva adalah dengan pandangan atau realisasi (penyadaran). Dalam kasus ini, saat bodhisattva memiliki pengalaman langsung tentang kekosongan. Ini adalah bhumi pertama dan Jalan Pengelihatan.

1:6-1:7abc

halaman 29

Kualitas yang diperoleh  [t = 1:12:52]

Bagian berikutnya dari teks tersebut masuk ke dalam kualitas yang diperoleh, dimulai dari syair 6. Dalam beberapa syair berikutnya, bahasanya dapat menjadi cukup puitis, sangat inspirasional, dan saya pikir sebagian besar cukup mudah.


[1:6] Sekarang lahir di dalam keluarga Tathagata
Sepenuhnya meninggalkan tiga belenggu konstan,
Bodhisattva memiliki kesenangan tertinggi
Dan mampu menggerakkan seratus dunia. 
[1:7abc] Dengan sukacita maju dari bhumi ke bhumi
Berbagai jalan menuju alam rendah telah berakhir;
Tingkatan dari eksistensi biasa sudah habis.
1:7d

halaman 32

Tingkat ke delapan yang agung  [t = 1:13:08]

Saya ingin menyinggung bagian terakhir dari syair 7, pada teks yang berbunyi:

[1:7d] Hal ini diajarkan untuk menjadi seperti tingkat luhur ke delapan.

Ada empat tahap pencerahan dalam ajaran Shravakayana atau Theravada, yang terbagi dalam delapan tingkatan. Dan yang kita katakan di sini adalah bahwa permulaan bhumi pertama sesuai dengan apa yang ada di Shravakayana disebut ‘Pemenang Arus’, yang berarti Anda memiliki paling banyak tujuh kelahiran lagi sebelum pencerahan. Keempat tahap pencerahan tersebut adalah pemenang-arus (Sotapanna), kembali-satu-kali-lagi (Sakadagami), tidak-kembali (Anagami) dan akhirnya Arhat (Arahant). Ada perdebatan besar di sini dalam komentar tentang apa yang dimaksud dengan ‘tingkat ke delapan yang agung’. Rinpoche tidak membahasnya dan saya rasa kita tidak perlu membahasnya, tapi Chandrakirti ingin kita mengerti bahwa ajaran Mahayana tentang bhumi dapat dipahami bersamaan dengan ajaran Shravakayana pada tahap pencerahan.

Tiba-tiba dan bertahap  [t = 1:14:09]

Ada juga poin penting di sini tentang perbedaan antara secara tiba-tiba dan bertahap, yang ditekankan dalam Shravakayana. Ini tentang bagaimana perubahan bertahap atau terus menerus – dengan kata lain terus berlatih dimana kita perlahan-lahan membentuk diri kita sendiri dan memurnikan kekotoran batin kita – dapat menyebabkan pada hasil yang tidak berkesinambungan. Salah satu cara kita sehari-hari untuk membicarakan hal ini adalah ‘jerami yang mematahkan punggung unta’. Kita dapat terus menambahkan jerami ke bagian belakang unta kita, dan pada titik tertentu hanya ada satu jerami – yang di dalam dan dari dirinya sendiri mungkin terlihat tidak penting – tapi satu jerami itu sudah lebih banyak dari yang bisa di pikul oleh punggung unta, dan maka patahlah punggungnya. Jadi ada perubahan bertahap atau kontinu, perubahan perlahan, perlahan, perlahan terakumulasi – dengan hasil yang mendadak atau terputus-putus. Dan ini sangat banyak cara ini diajarkan di Sutta Pitaka: kemajuan dalam pemahaman datang sekaligus. Apa yang disebut ‘pengertian mendalam’ (abhisamaya) tidak datang secara bertahap. Masing-masing dari keempat tingkat ini tiba-tiba tercapai, dan bahkan realisasi akhir dari buah juga tiba-tiba.

Kita memiliki banyak cara kontemporer untuk memahami hal ini dan menghubungkannya dengan pengalaman kita sendiri, misalnya ketika kita telah mengerjakan sesuatu untuk waktu yang lama dan mungkin kita tertidur dan kita bangun di pagi hari dengan momen ‘a-ha’ ketika semuanya datang bersama dan kita bisa melihat dengan jelas. Kita memiliki pengertian mendalam (insight) itu. Bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari kita memiliki pengalaman tentang bagaimana kita dapat mengerjakan sesuatu untuk waktu yang lama tampaknya tanpa tanda kemajuan yang jelas, dan kemudian hal itu dapat menyebabkan pengertian mendalam yang tiba-tiba. Begitulah caranya kita memahami kemajuan di jalan Dharma. Dalam tradisi Zen, ada anggapan bahwa Anda dapat memiliki pengertian mendalam atau satori, namun kemudian ada kebutuhan untuk pelatihan bertahap untuk memastikan bahwa pengalaman ini berkembang menjadi realisasi. Begitulah caranya kita bisa mengerti secara tiba-tiba dan secara bertahap bersamaan, dan tahap bhumi atau bodhisattva memiliki kualitas yang sama di mana latihan bertahap atau berkesinambungan mengarah pada transisi yang tidak berkesinambungan atau tiba-tiba dari satu bhumi ke yang berikutnya.

1:8

halaman 33

Kualitas mengalahkan yang lain  [t = 1:16:21]

Syair penting berikutnya adalah syair 8. Seperti yang dikatakan Rinpoche, di Shedras, universitas-universitas monastik, mereka menghabiskan banyak minggu hanya dengan satu syair ini.


[1:8] Berjuang untuk pencerahan, bahkan ketika masih berada di tingkat pertama,
Dia mengalahkan orang-orang yang lahir dari ucapan Raja Bijak, termasuk realisator soliter.
Dan, melalui pahala yang terus meningkat,
Pada “Pergi Jauh”, pengertiannya juga menjadi lebih besar.

Dan itu semua adalah apa yang memungkinkan kita mengatakan kapan bodhisattva bisa lebih melampaui seorang shravaka arhat atau pratyekabuddha. Pada bhumi pertama, kita katakan bahwa bodhisatwa sudah bisa berada di luar arhat ini dengan kekuatan kebajikannya, namun belum dengan kekuatan kebijaksanaannya. Jadi ketika kita mengatakan ‘kekuatan pahala mereka’, ada contoh bagus tentang seorang raja yang dikelilingi oleh menteri-menterinya, dan kemudian masuklah sang ratu sambil memegang pangeran bayi itu. Dan pangeran bayi itu mengalahkan semua menteri. Jadi meskipun menteri ini mungkin sangat bijak, sangat mulia dan berpengalaman, mereka tidak akan pernah menjadi raja. Tapi pangeran bayi suatu hari akan menjadi raja. Dia memiliki kebajikan itu. Analoginya adalah bahwa sebagai konsekuensi dari welas asih dan kebajikan mereka yang telah mereka kumpulkan selama beberapa ribu tahun praktik, bodhisattva memiliki kebajikan yang akan membawanya pada pencerahan sempurna.

Tapi bodhisattva tidak melampaui batas para arhat hanya dengan kekuatan kebijaksanaan mereka hingga mereka menyelesaikan bhumi ke-6 dan memasuki bhumi ke-7. Di sinilah situasinya sedikit teknis, dan kita perlu mengenalkan beberapa istilah bahasa Tibet karena di sini saat kita membicarakan beberapa kekotoran batin di jalan.

Pertama adalah analogi. Pemahaman tentang kekosongan dari shravaka arhat dan pratyekabuddha adalah seperti seekor serangga kecil yang makan di dalam biji sesawi, yang seperti yang Anda tahu adalah benih mungil, dan menciptakan ruang di dalamnya. Sedangkan pemahaman bodhisattva tentang kekosongan selebar langit. Jadi kita mungkin bertanya, jika bodhisattva memiliki pemahaman yang lebih besar tentang kekosongan, mengapa dia juga tidak bisa mengalahkan shravaka dengan kebijaksanaannya?

halaman 35

Dendzin dan tsendzin  [t = 1:18:45]

Untuk menjawab pertanyaan ini, kami memperkenalkan beberapa pengaburan atau kekotoran yang berbeda:

  • Dendzin: ini melekat pada eksistensi sejati, benar-benar percaya adaya diri, yang memunculkan kemelekatan atas diri, emosi dan penderitaan. Dan seperti yang kita bahas minggu lalu, itulah penyebab samsara – dendzin ini atau kemelekatan pada eksistensi sejati.
  • Tsendzin: bahkan setelah seseorang mengatasi keterikatan pada eksistensi sejati, masih ada sisa kekotoran lain yang tersisa, yang disebut tsendzin, yang diterjemahkan di sini sebagai ‘fiksasi pada karakteristik’. Kita bisa memahami hal ini sebagai berikut: walaupun kita tidak menganggap sesuatu benar-benar ada, kita masih memiliki persepsi dualistik. Kita masih memiliki subjek dan objek. Kita masih memikirkan hal-hal berkenaan dengan baik dan buruk. Kita memiliki reifikasi (= memiliki ide menganggap sesuatu yang imateril seperti bahagia, takut dll sebagai sesuatu yang materi/wujud). Kita membuat batas dengan benda- benda sekitar dengan kata-kata kita, dengan bahasa kita, dengan pikiran kita. Semua itu, semua itu menciptakan semacam karakteristik di dunia, yaitu tsendzin. Jika kita ingin mundur sedikit, pada tingkat tertentu kita tahu bahwa dunia adalah seperangkat fenomena interaktif dan interdependent yang saling terkait dan pra-linguistik di mana Anda akan memberi batas di seputar satu fenomena pun yang sangat konvensional. Ini adalah pilihan yang sewenang-wenang yang sangat bergantung pada bagaimana Anda ingin berinteraksi dengan dan ‘menggunakan’ fenomena dunia. Jadi, dengan cepat kita mulai menyadari bahwa banyak hal yang kita sebut ‘fenomena’ hanyalah ciptaan kita. Mereka hanya ciptaan kita. Dan bagaimanapun, begitu kita menciptakan kata-kata, begitu kita menciptakan pembedaan ini, adalah mudah bagi kita untuk melupakan bahwa itu hanyalah hal-hal yang telah kita buat dan kita mulai menganggapnya sangat serius. Itulah tsendzin.
  • Nyinang: Nanti (di halaman 64) Rinpoche berbicara tentang kekotoran lain, nyinang, yang masih hadir dari bhumi ke 8 sampai bhumi ke-10. Ini diterjemahkan sebagai ‘kekhawatiran belaka’ dan seperti yang dikatakan Rinpoche, dari bhumi ke 8 dan seterusnya, tidak ada lagi penampilan – apalagi fiksasi penampilan. Tidak ada lagi persepsi. Masih ada semacam subjektivitas. Jika kita melihat praktik nondual seperti mahamudra dan mahasandhi, mereka berusaha menyucikan jenis kekotoran atau pengaburan semacam ini dimana tidak ada penampilan atau persepsi namun tetap ada beberapa jenis subjektivitas.

Kembali ke pertanyaan kita tentang mengalahkan, alasan kita mengatakan bahwa bodhisattva belum bisa mengalahkan shravaka, meskipun mereka memahami kekosongan pada tingkat yang jauh lebih besar – seperti langit versus lubang pada biji sesawi – itu karena mereka tidak dapat menyingkirkan tsendzin mereka yang tidak dapat diubah. Selama latihan mereka, selama perjalanan mereka, keterikatan pada karakteristik ini, yang merupakan kekotoran, tapi bahkan saat mereka di hapuskan, mereka masih menciptakan penyebab dari tsendzin baru, selama mereka berada di enam bhumi pertama. Hanya ketika mereka mencapai bhumi ke-7 dimana mereka tidak lagi menciptakan penyebab dari tsendzin, dan pada saat itu kita akan mengatakan bahwa mereka telah melampaui batas shravaka arhats.

halaman 36

Pemahaman superior dari objek milik seseorang  [t = 1:22:27]

Sekarang ketika kita berbicara tentang pemahaman akan kekosongan, apa sebenarnya yang sedang kita bicarakan? Komentar tersebut memperkenalkan pemahaman Nagarjuna tentang hal ini, yang dia jelaskan dalam pengertian ‘pemahaman superior tentang objek milik seseorang’. Komentar tersebut memecah kalimat ini menjadi tiga bagian:

  • (1) Objek milik sendiri: Jika Anda melihat di halaman 37, Anda akan melihat bahwa kita tidak hanya membicarakan keberadaan dan ketidakberadaan. Sebagai gantinya, kita berbicara tentang empat-lipatan klasifikasi eksistensi, ke-tidak-adaannya, keduanya dan bukan keduanya.

Ini disebut catuskoti, yang ditemukan dalam logika India klasik, dan ini sangat dasar bagi argumen logis Nagarjuna yang terkenal yang disebut ‘Kepingan Intan’. Dan kembali pada apa yang saya katakan sebelumnya tentang hubungan antara Buddhisme dan filsafat Yunani kuno, logika empat-lipatan ini juga muncul dalam filsafat skeptis Pyrrho. Ini sangat menarik, karena kebanyakan logika barat tidak ada yang seperti logika empat-lipatan ini. Sebagai gantinya, terdapat apa yang dikenal sebagai Hukum dari Pengecualian Tengah – sebuah proposisi yang dapat menjadi kenyataan atau bisa salah, namun dalam logika klasik tidak ada pilihan yang ketiga apalagi pilihan keempat. Seperti yang sering dikatakan Rinpoche, logika Buddhis berbeda dengan logika barat, dan tentu saja gagasan tentang logika dua lipatan dari empat lipatan – mereka berbeda, dan kita akan melihat ini saat kita melalui analisisnya. Tapi juga menarik, pada catatan itu, untuk mengamati bahwa logika kontemporer melampaui Hukum dua lipatan klasik – Hukum dari Pengecualian Tengah.

Epimenides

Paradoks pembohong dan ‘masalah sulit’ dalam kesadaran  [t = 1:24:20]

Dan bahkan di Yunani kuno kita memiliki beberapa contoh di mana klasifikasi yang tampaknya kuat ini – entah itu benar atau salah – mulai runtuh. Dan contoh paling klasik adalah Paradoks Pembohong, yang mungkin Anda ketahui. Ini berasal dari pemikir Yunani bernama Epimenides, yang berasal dari Kreta (Crete) dan hidup sekitar tahun 600 SM, dan dia dilaporkan mengatakan, “Semua orang Kreta adalah pembohong.” Dan tentu saja pernyataan ini bertentangan: jika yang dia katakan itu benar, maka dia telah mengucapkan sebuah pernyataan yang benar, yang berarti bahwa tidak semua orang Kreta adalah pendusta. Namun jika dia berbohong saat dia mengatakan “Semua orang Kreta adalah pendusta” maka itu berarti beberapa orang Kreta harus mengatakan yang sebenarnya. Versi yang lebih sederhana dari hal yang sama adalah pernyataan “Pernyataan ini salah”. Hanya empat kata itu yang paradoks. Dan beberapa dari Anda mungkin telah membaca buku hebat dari Douglas Hofstadter Gödel, Escher, Bach, yang membahas tentang Teorema Ketidakkonsistenan Gödel dalam matematika murni, dan salah satu bukti klasik dari karya Teorema Gödel dengan gagasan yang tepat untuk membangun kalimat matematis yang memiliki kualitas paradoks ini.

Dan ini menarik, karena bidang penyelidikan ini menjadi sangat hidup dalam filsafat kesadaran dan sains kognitif kontemporer, yang akan kita dapatkan di Minggu ke-5, dan bahkan Hofstadter mengatakan tentang bukunya – yang tampaknya mengenai matematika, seni dan musik. – Itu tidaklah benar-benar tentang itu. Ini tentang bagaimana kognisi muncul dari mekanisme neurologis tersembunyi. Ini sangat terkait dengan apa yang disebut ‘masalah sulit’ dalam filosofi kesadaran: bagaimana kita menjelaskan pengalaman subyektif ketika tampaknya hal itu muncul dari dasar-dasar fisik, dengan kata lain otak. Bagaimana kesadaran muncul dari otak? Kita akan sampai pada hal itu, dan ini sangat membawa kita kembali ke sekolah Yogachara, Cittamatra, yang sangat banyak pendukungnya – dan memiliki posisi yang sangat kuat – Hanya-Batin dan kesadaran. Dan sangat menggoda untuk menerima pandangan mereka mengingat intuisi kita tentang apa yang harus disadari. Hal ini terkenal diungkapkan oleh Descartes saat dia mengatakan “cogito ergo sum” (“Saya berpikir, karena itu saya ada”). Ketika kita kembali ke apa yang benar, apa yang dianggap sebagai kognisi yang benar, dan apa itu benar – bagi Descartes, fakta bahwa dia benar-benar dapat merasakan kesadarannya sendiri, subjektivitasnya sendiri – yang sepertinya tak terbantahkan kepadanya. Bagaimana kita bisa berdebat dengan itu? Kita akan hadapi itu nanti.

Ten Bulls #8 (Max Gimblett)

Pengertian non-self (bukan-diri) : kekosongan tidak sama dengan non-eksistensi (bukan-eksistensi)  [t = 1:27:28]

Kita sudah melihat bahwa Nagarjuna, tidak hanya berbicara tentang bagaimana segala sesuatu bukan-eksis (bukan-ada). Itulah pendekatan Shravakayana – menetapkan bahwa diri tidak benar-benar ada. Tapi di sini, di Madhyamaka kita ingin melampaui keempat sudut catuskoti ini: tidak hanya menghilangkan keterikatan pada diri sendiri, dengan kata lain berpegang teguh pada keberadaan, tapi juga menghilangkan keterikatan pada eksistensi, melekat pada keduanya, dan berpegang teguh pada bukan tidak. Ini – melampaui keempat ekstrem – adalah apa yang kita sebut ‘kekosongan agung’, yaitu kekosongan dari kekosongan, dan kita akan membicarakan hal ini di minggu 6. Kesalahpahaman umum lainnya adalah ketika kita berbicara tentang kekosongan, apa yang kita bicarakan adalah tentang kekosongan agung ini yang berada di luar empat ekstrem. Dan itu tidaklah sama dengan non-eksistensi, yang hanya melampaui satu dari empat ekstrem. Jadi ini adalah sumber kebingungan potensial dan kesalahpahaman antara beberapa teks Shravakayana dan beberapa teks Mahayana. Jika Anda melihat definisi nirwana secara harfiah, itu berarti ‘meniup’ atau ‘pemuasan’, yang secara tradisional dipahami sebagai kepunahan dari tiga api atau tiga racun hasrat, keengganan dan ketidaktahuan. Dan saat api ini padam, maka pelepasan dari siklus kelahiran kembali telah dicapai. Jadi di Shravakayana, pencapaian nirwana memiliki konotasi untuk menyingkirkan keterikatan palsu pada diri sendiri yang menimbulkan tiga api atau tiga racun. Sedangkan di Mahayana, kita tidak hanya berbicara tentang ‘menyingkirkan’. Ya, kita katakan bentuk adalah kekosongan, dengan kata lain kita menyingkirkan gagasan-gagasan eksistensi palsu. Tapi di dalam Sutra Hati kita juga mengatakan kekosongan adalah bentuk, sehingga menyingkirkan gagasan salah tentang ke-non-eksistensi-an. Kita kembali pada pemahaman paradoks yang melampaui rasionalitas biasa kita.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, ada diskusi di Forum tentang apa yang kita maksud dengan bukan-diri, dan di Madhyamaka saat kita mengatakan ‘bukan-diri’, saya menggunakan kata itu sebagai singkatan untuk merangkum pandangan Nagarjuna bahwa diri itu bukanlah ada atau tidak ada atau keduanya maupun bukan (keduanya). Kita juga akan mengacu pada pandangan ini sebagai ‘melampaui ekstrem’ dan ‘nondual’, karena pandangan Nagarjuna tentang Jalan Tengah melampaui semua ekstrim dualistik. Dan kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa ‘pandangan’ kekosongan ini sebenarnya adalah sebuah bukan-pandangan yang melampaui semua pandangan. Seperti Nagarjuna sendiri mengatakan “Orang bijak bahkan seharusnya tidak tinggal di Tengah”. Seperti yang ditekankan oleh Rinpoche, kita dapat mencoba membicarakan hal ini, tapi karena sangat paradoks, sangat cepat melampaui bahasa dan memikirkan pemahaman rasional kita. Seperti yang telah kita bahas di Minggu ke 1, satu-satunya cara untuk benar-benar memahami kekosongan adalah melalui meditasi. Membicarakan tentang hal itu hanya membuat lebih buruk. Dan seperti yang kita lihat sebelumnya, jika Anda melihat Paradoks Pembohong atau Teorema Gödel, Anda akan melihat bahasa itu, konsep dualistik dan deskripsi rasional terurai pada titik tertentu. Mereka tidak cukup untuk menggambarkan atau membawa kita ke keadaan nondualitas ini.

Jadi sekarang apa itu “objek” yang dipahami ketika seseorang memiliki pemahaman tentang kekosongan, yang oleh Nagarjuna disini disebut sebagai “objek milik sendiri”. Singkatnya, apa yang dipahami bukan hanya pandangan Shravakayana tentang kurangnya eksistensi diri sejati, tapi kita memahami pandangan kekosongan yang melampaui semua eksistensi ekstrem, bukan eksistensi, keduanya dan bukan keduanya.

halaman 38

Apakah para shravaka dan pratyekabuddhas mengerti kekosongan fenomena?  [t = 1:30:30]

Selanjutnya adalah aspek kedua dari “pemahaman superior tentang objek milik seseorang”, yaitu “superior”:

  • (2) Superior. Di sini kita berbicara tentang seberapa banyak shravaka dan pratyekabuddhas memahami kurangnya kebenaran dari keberadaan fenomena? Dengan cara bagaimana kita bisa mengatakan bahwa pemahaman tentang kekosongan fenomena lebih superior dalam Mahayana?

Kita tahu bahwa shravaka memahami kekosongan diri dari seseorang, karena jika tidak mereka tidak dapat mencapai nirwana. Tetapi jika mereka juga memahami kekosongan fenomena maka orang mungkin berpendapat mengapa kita memerlukan jalan Mahayana, karena disitulah semua yang diajarkan. Bhavaviveka, salah satu komentator awal Mulamadhyamakakarika dari Najarjuna, berpendapat bahwa karena shravaka hanya tertarik pada nirwana, mereka tidak peduli dengan kekosongan fenomena. Tapi Chandrakirti tidak setuju dan mengatakan tidak, jika mereka mencapai nirwana dan memahami kekosongan akan diri maka mereka juga harus memahami beberapa aspek kekosongan dari fenomena. Ini karena mereka harus memahami kekosongan dari lima kelompok agregat yang membentuk diri. Dan memang Buddha yang mengajarkan hal ini.

Dalam ➜Phena Sutta, salah satu sutta Pali, ada sebuah syair terkenal yang menggambarkan kekosongan dari fenomena:

Bentuknya seperti gumpalan busa; perasaan, gelembung; persepsi, fatamorgana; fabrikasi, pohon pisang; kesadaran, trik sulap – ini telah diajarkan oleh Kerabat dari Matahari. Namun Anda amatilah mereka, dengan tepat memeriksanya, semuanya kosong, hampa bagi siapa pun yang melihatnya dengan tepat […] Begitulah yang terjadi: ini adalah trik sulap, omelan idiot. Dikatakan sebagai pembunuh. Tidak ada substansi yang dapat ditemukan di sini.
[SN 22.95]

Jika Anda tertarik pada mengapa dikatakan sebagai pembunuh, itu berasal dari sutta Pali lain, ➜Yamaka-Sutta, di mana Buddha menceritakan tentang seseorang yang mengenal seorang perumah tangga kaya dan ingin mencuri uang mereka, dan yang kemudian berpura-pura sebagai pelayan, mendapatkan kepercayaan mereka, dan kemudian membunuh mereka. Setelah menceritakan kisah ini, Buddha bertanya kepada Yamaka, bukankah benar bahwa walaupun orang ini adalah seorang pembunuh, pemilik rumah tidak mengenalnya sebagai pembunuh? Yamaka mengatakan ya, dan Buddha melanjutkan dengan membandingkan cerita ini dengan bagaimana kita bingung antara tubuh kita dan diri kita:

Dengan cara yang sama, orang yang tidak terstruktur dan biasa – yang tidak menghargai orang-orang mulia, tidak berpengalaman atau disiplin dalam Dhamma mereka; yang tidak memandang orang-orang yang berintegritas, tidak berpengalaman atau disiplin dalam Dhamma mereka – menganggap bentuk (tubuh) sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk seperti dalam diri, atau diri seperti dalam bentuk.
[SN 22.85]

Apa yang beliau katakan adalah bahwa ketika sampai pada pandangan yang salah tentang diri ini, dan khususnya bagaimana kita menghubungkan diri dan tubuh – yang akan kita hadapi nanti dengan contoh yang terkenal dari kereta – keterikatan pada pandangan yang salah ini dianggap sebagai menyesatkan sebagaimana pembunuh berpura-pura sebagai hamba yang setia. Kita menyiratkan soliditas namun kenyataannya, seperti kata Buddha, ini adalah trik sulap. Ini omong kosong orang idiot. Tidak ada substansi yang ditemukan.

Vimalakirti Sutra (KF) illustration - empty blue Buddhas

Anda mungkin telah melihat bahwa ada terjemahan baru yang indah yang tersedia di situs Khyentse Foundation – Sutra Vimalakirti (Sutra mengenai Pengajaran dari Vimalakirti), yang dianggap sebagai permata dari semua Mahayana sutra. Ini dapat di unduh gratis dari terjemahan baru Robert Thurman, yang juga berisi pengantar yang sangat indah oleh Rinpoche dan beberapa karya seni yang indah. Ini berisi bagian (di halaman 114 dari PDF) yang mengungkapkan kekosongan akan tubuh dengan cara yang sangat mirip dengan Phena Sutta:

Tubuh ini adalah seperti bola busa, tidak mampu menahan tekanan apapun. Ini seperti gelembung air, tidak dapat bertahan terlalu lama. Ini seperti fatamorgana, lahir dari nafsu keinginan. Ini seperti batang pohon pisang, tidak memiliki inti. Sayang! Tubuh ini seperti mesin, sebuah penghubung dari tulang dan urat-urat. Ini seperti ilusi magis, yang terdiri dari pemalsuan. Ini seperti mimpi, menjadi penglihatan yang tidak nyata. Ini seperti sebuah refleksi, menjadi citra atas tindakan sebelumnya. Ini seperti gema, bergantung pada pengkondisian. Ini seperti awan, ditandai oleh turbulensi dan peleburan. Ini seperti kilat petir, tidak stabil, dan membusuk setiap saat.

Contoh klasik lainnya adalah bagian penutup dari Sutra Intan (bagian 32), yang memiliki ungkapan klasik:


Semua fenomena terkondisi
Seperti mimpi, ilusi, gelembung, bayangan,
Seperti embun atau kilatan petir;
Seperti itulah seharusnya kita melihatnya.

Dalam semua cara ini, kemudian, kita baru saja membicarakan bagaimana pemahaman tentang kekosongan fenomena adalah lebih superior (unggul) di jalan Mahayana karena walaupun di jalan Shravakayana kita mengerti bahwa fenomena itu kosong dan tidak memiliki eksistensi sejati seperti yang baru saja dijelaskan, di Jalan Mahayana tidak hanya membangun kekurangan atas keberadaan sejati, tapi kita benar-benar melampaui keempat ekstrem itu. Mereka tidak ada, juga bukan tidak ada, juga keduanya maupun tidak keduanya. Dan Mahayana juga memiliki ajaran tentang paramita, welas asih, dan sebagainya. Jadi dengan cara itulah ke-unggulan nya (superior).

  • (3) Pengertian: Akhirnya, di halaman 41, kita sampai pada aspek ketiga dari “pemahaman superior tentang objek milik seseorang”, yaitu pengertian. Ajaran Mahayana dikatakan lebih unggul karena lebih jelas, lebih cepat dan lebih lengkap. Jadi sekali lagi kita mengatakan bahwa kekosongan yang diajarkan di Shravakayana sempit dan terbatas, sedangkan di Madhyamaka kita membicarakan 20 jenis kekosongan yang berbeda yang meniadakan keempat ekstrem tersebut.

halaman 42

Mendefinisikan ketidak-tahuan dan kebijaksanaan  [t = 1:35:58]

Saya ingin membuat komentar singkat tentang ketidaktahuan. Kita berbicara banyak tentang kebijaksanaan, yang merupakan lawan dari ketidaktahuan, dan ini adalah kata yang sangat menantang dan menyesatkan bagi banyak orang ketika kita pertama kali mendekati ajaran-ajaran ini, karena pemahaman bahasa Inggris yang normal tentang ‘ketidaktahuan’ berarti sesuatu seperti ‘tidak mengetahui sesuatu’ atau ‘kurang informasi’. Inilah definisi kamusnya:

Ketidaktahuan: kurang pengetahuan atau informasi.
sinonim: ketidak-mengertian, ketidaksadaran, ketidak-biasa-an, kurang pengalaman dengan, kurang pengetahuan tentang, kurang informasi tentang.

Jika kita melihat definisi kebijaksanaan, ini sedikit lebih baik karena ada lebih kepada pengalaman dan penilaian yang baik, namun pengertiannya tetap bahwa pengalaman membawa kebijaksanaan karena Anda tahu lebih banyak:

Kebijaksanaan: kualitas memiliki pengalaman, pengetahuan, dan penilaian yang baik; kualitas menjadi bijak.
sinonim: kecerdikan, kecerdasan, akal, akal sehat, kelihaian, ketajaman, kepintaran, kesengajaan, penilaian, kehikmatan, kehati-hatian.

Beberapa aspek kebijaksanaan yang lebih relatif ini sangat relevan bagi kita dalam praktik kita, karena Delapan Jalan Mulia juga merupakan praktik untuk bertindak dengan bijak di dunia relatif. Tapi sekarang ketika kita membangun pandangan, saat kita berbicara di sini tentang kebijaksanaan, maksud kita adalah hasil eliminasi. Kita ingin menghilangkan ketidaktahuan dan kekotoran batin kita. Demikian juga, kata Tibet untuk Buddha, Sangye, berarti ‘tersucikan’. Kita memuji Buddha karena telah sadar-terjaga. Sedang terjaga berarti tidak adanya tidur. Kita tidak memuji beliau karena kekuatan atau keindahan atau hal seperti itu. Ada penjelasan bagus di halaman Wikipedia tentang ➜avidya (ketidaktahuan), di mana dikatakan:

Avidya dijelaskan dengan cara yang berbeda atau pada tingkat yang berbeda dalam ajaran atau tradisi Buddhis yang berbeda. Pada tingkat yang paling mendasar, itu adalah ketidaktahuan atau kesalahpahaman tentang sifat alami dari realitas ; lebih spesifik tentang sifat alami dari bukan-diri dan doktrin saling bergantungan. Avidya bukan kekurangan informasi, kata Peter Harvey, tapi ke “kesalahan persepsi yang lebih dalam tentang kenyataan”. Gethin menyebut Avidya sebuah ‘kesalahpahaman positif’, bukan hanya ketiadaan pengetahuan. Ini adalah konsep kunci dalam Buddhisme, di mana Avidya tentang sifat alami dari realitas, bukan dosa, dianggap sebagai akar dasar dari Dukkha. Penghapusan Avidya ini membawa pada penaklukan (mengatasi) dari Dukkha.

Seperti kata Rinpoche, bukan berarti kita tidak cukup tahu. Tapi bahwa kita mengetahui hal-hal yang tidak benar. Kita telah membangun ilusi, halusinasi, fatamorgana – kita melihat sesuatu di sana, kita menganggapnya nyata, padahal tidak ada.

halaman 43

Dualisme dan nondualitas  [t = 1:38:35]

Ini membawa kita ke nondualitas. Kita terbiasa dengan perbedaan dualistik sehari-hari seperti baik dan buruk, indah dan jelek dan sebagainya, dan termasuk juga dengan konsepsi dan karakteristik dari tsendzin. Dan ya kita tahu bahwa tidak masuk akal untuk membicarakan sesuatu seperti orang cantik yang benar-benar ada. Jika seseorang memiliki karakteristik kecantikan yang benar-benar ada, maka setiap orang pasti akan melihatnya cantik. Ingatlah bahwa kita mendefinisikan keberadaan sejati sebagai tidak tergantung pada sebab dan kondisi, jadi jika ada kecantikan yang benar-benar ada, maka setiap orang akan mengalaminya dengan cara yang sama. Tapi kita tahu betul bahwa kecantikan ada di mata yang melihatnya. Kita tidak menganggap semua orang dengan cara yang sama. Kita tahu kecantikan itu tidak benar-benar ada, dan kita tahu bahwa konsepsi dualistik semacam itu tidak berjalan baik.

Tapi di Madhyamaka pemahaman tentang nondualitas bahkan lagi mendasar lebih, karena kita tidak hanya mengatakan bahwa objek-objek tidak memiliki karakteristik dualistik yang benar-benar ada seperti cantik dan jelek. Kita mengatakan bahwa tidak ada entitas nyata dari subjek dan objek yang terpisah sejak awalnya. Seperti kata Rinpoche, ketika kita terjebak dalam dualisme, kita sebenarnya “menceraikan subjek dan objek”. Beberapa dari Anda mengajukan pertanyaan tentang apa yang kita maksud dengan dualisme, dan itulah yang kita maksud.

Bob Kegan

Melampaui subjek dan objek  [t = 1:39:37]

Menariknya ada beberapa tumpang tindih nyata dengan banyak tradisi barat di sini. Secara khusus, saya ingin menarik perhatian Anda pada karya Bob Kegan, Profesor Pembelajaran Dewasa dan Pengembangan Profesional di Harvard, yang merupakan pakar terkemuka dalam pengembangan orang dewasa. Ada kutipan bagus dari sebuah artikel “Epistemologi, Kesadaran Orde Keempat, dan Hubungan Subjek-Objek” (tidak dicetak), di mana Kegan berbicara tentang pembangunan melalui siklus hidup manusia, dan bagaimana hal itu berkaitan dengan dualisme dan keseluruhan gagasan tentang subjek dan objek:

Kita mulai dari posisi, pada masa awal, dimana sama sekali tidak ada perbedaan subjek-objek sama sekali, karena pengetahuan seorang bayi adalah sepenuhnya subjektif. Tidak ada “bukan aku,” tidak ada internal vs eksternal. Tidak ada perbedaan, misalnya, dalam sumber ketidaknyamanan yang disebabkan oleh cahaya terang atau rasa lapar di perut. Tidak ada perbedaan antara diri dan orang lain.

Seperti yang mungkin Anda ketahui, dalam beberapa bulan pertama setelah kelahiran, bayi tidak tahu bahwa tangan dan kakinya adalah miliknya sendiri. Bahkan tidak bisa membedakan antara dirinya dan ibunya. Kegan melanjutkan:


Keadaan akhir dari cerita ini – dari proses ini secara bertahap tapi secara kualitatif bergeser (beralih) lagi dan lagi melebihi dari apa yang menjadi subjek ke objek – […]

Disini dalam kurung kita bisa menambahkan bahwa ada banyak kemenangan rasionalitas dan tradisi Pencerahan di Barat mengenai kelahiran dari sebuah pandangan dunia yang didasarkan pada sains (ilmu pengetahuan) dan objektivitas. Sekali lagi, ini tentang bagaimana kita beralih dari subjektivitas (dan irasionalitas) ke objektivitas (dan rasionalitas). Seperti yang Kegan katakan, karena kita terus-menerus mengalihkan lebih banyak subjek menjadi objek, titik akhir kita :

[…] akan menjadi keadaan di mana perbedaan subjek-objek berakhir lagi, dalam arah yang berlawanan daripada di menit pertama kehidupan. Anda tahu, di tahun enam puluhan, Alan Watts sangat suka mengatakan bahwa bayinya adalah seorang Buddha. Tapi itu menunjukkan kesalahpahaman total. Ada dua cara berbeda yang bisa Anda dapatkan dari pemisahan subjek-objek. Salah satu caranya adalah dengan tunduk pada tanpa-objek sepenuhnya – yaitu bayi Watts. Dan cara lainnya adalah melalui pengosongan lengkap dari subjek ke dalam objek sehingga ada, dalam arti tertentu, tidak ada subjek sama sekali – yaitu, Anda tidak memandang dunia dari sudut pandang manapun yang terpisah darinya. Anda kemudian mengambil perspektif dunia. Itulah Buddha. Ada perbedaan besar antara nondualisme seorang bayi dan nondualisme Buddha.

[Catatan: versi asli Kegan’s memiliki “adualisme” bukan “nondualisme”]

Bubble chamber

Kekosongan, nondualitas dan kemunculan yang bergantung  [t = 1:42:28]

Beberapa dari Anda bertanya bagaimana kita bisa membedakan kekosongan, nondualitas, kemunculan yang bergantung, saling ketergantungan dan sebagainya. Ini semua adalah istilah yang akan banyak dijumpai, dan kita akan mengembangkan definisi yang lebih lengkap selama beberapa minggu mendatang, tapi sekilas saja:

  • Kekosongan: di sini kita akan mengikuti pemahaman Nagarjuna dimana kita menggunakan ‘kekosongan’ untuk mengacu pada kekosongan dari kekosongan, yang bukanlah eksistensi, atau bukan tidak eksistensi, atau keduanya, atau bukan keduanya. Melampaui bahkan beristirahat di Tengah. Ini mengacu pada kebenaran tertinggi.
  • Nondualitas: ini juga melampaui subjek dan objek, walaupun seperti yang baru Anda lihat dalam kutipan dari Kegan, ada cara untuk memahami apa yang lebih mirip Buddha, dan cara lain yang bisa menjadi subjektivitas total, bukan itu yang dimaksudkan di sini. Itu hanya menyebabkan narsisisme total. Adalah juga menarik untuk dicatat, kembali ke sutta Pali yang kita kutip sebelumnya, bahwa Bhikkhu Thanissaro berbicara dalam komentarnya tentang kekosongan sebagai atribut sebuah objek. Sutta Pali mengatakan hal-hal seperti “mata adalah kosong, hidung adalah kosong, telinga adalah kosong …” dan seterusnya. Tapi dari perspektif Mahayana hal itu masih dianggap dualistis, karena kita masih membedakan fenomena (objek) yang memiliki atribut yang kosong. Misalnya, kita masih membedakan telinga – itu tsendzin, sebuah karakteristik, sebuah label, beberapa ‘benda’ yang kita sebut sebagai ‘telinga’. Dan meskipun kita mengatakan itu kosong, masih ada hubungan subjek-objek. Nondualitas yang kita bicarakan di Mahayana berbeda dengan pemahaman Shravakayana tentang kekosongan sebagai atribut dari lima kelompok agregat. Jadi ini seharusnya juga membantu kita untuk memiliki gagasan yang lebih baik mengapa pemahaman Mahayana tentang kekosongan fenomena dianggap lebih unggul dari pemahaman Shravakayana.
  • Kemunculan yang bergantung : sekarang kita berbicara tentang fenomena konvensional, dan bagaimana hal-hal muncul dan menyatu di dunia. sekarang waktunya berdiskusi mengenai kebenaran yang relatif, dan saat kita memikirkan bagaimana sesuatu berfungsi di dunia relatif, kita tahu bahwa semuanya saling bergantung. Kita tidak dapat melepaskan kompleksitas total dari spasial dan hubungan sementara dari sebab dan akibat yang menjadi karakteristik dunia fenomenal kita. Kita akan kembali ke sini di Minggu 6.

halaman 43

Seperti kata Rinpoche, sebenarnya hanya ada satu ketidaktahuan – yaitu, melekat pada fenomena seperti memiliki diri yang benar-benar ada. Namun, kita dapat membagi ketidaktahuan ini menjadi kemelekatan pada diri seseorang dan kemelekatan pada fenomena diri untuk tujuan kita dalam menyangkal pandangan yang salah dan membangun kekosongan dalam teks ini. Secara khusus, Chandrakirti akan membangun kekosongan dalam dua tahap. Pertama, seperti yang harus dipahami oleh semua kendaraan, termasuk Shravakayana dan Mahayana. Kemudian, seperti yang dipahami secara eksklusif di dalam Mahayana, mencatat berbagai cara di mana Mahayana mengajarkan ‘pemahaman superior tentang objek milik seseorang’ yang telah kita bicarakan sebelumnya.

Tapi ini relevan bagi kita, terutama ketika kita sampai di Minggu ke-5 untuk menolak kemelekatan pada diri seseorang, sebagaimana terdapat banyak filsafat pikiran kontemporer, filsafat dari kesadaran, fenomenologi – yang masuk ke dalam topik ini. Dan memang terdapat debat kontemporer yang sangat aktif mengenai topik ini, yang mungkin Anda temukan jika Anda mengikuti konferensi Mind and Life (= batin dan hidup), di mana Yang Mulia Dalai Lama telah bertemu dengan para ahli saraf terkemuka. Ada banyak diskusi disana tentang bagaimana seseorang bisa memperluas metode sains orang ketiga ke pengalaman kesadaran orang yang pertama. Apakah itu masuk akal? Ada beberapa perdebatan yang sangat menarik tentang apa artinya semua itu, dan kita dapat lebih memahaminya berdasarkan pemahaman kita tentang nondualitas.

Tapi seperti yang Rinpoche katakan, jika Anda melihat kategori yang lebih besar, fenomena dari diri lebih besar daripada diri seseorang, karena seseorang hanyalah satu fenomena. Jadi, adalah mungkin untuk meninggalkan kemelekatan pada diri seseorang, itulah yang terjadi di jalan Shravakayana, dan tetap ditinggalkan dengan beberapa kemelekatan pada fenomena atas diri. Jadi, itulah sebabnya kita mengatakan jalan Mahayana, jalan Madhyamaka, lebih unggul.

1:9-1:15

halaman 45

Bhumi Pertama: Kemurahan hati  [t = 1:46:11]

Selanjutnya kita beralih ke kualitas paramita mereka yang dimulai dari syair 9, yang berbicara tentang paramita kemurahan hati. Sebagian besar syair ini cukup mudah.

[1:9] Di sini, penyebab pertama dari pencerahan sempurna,
Kemurahan hati, adalah yang terpenting.
Memberikan dagingnya sendiri dengan antusias,
Mengambil keputusan dengan apa yang tidak terlihat [1:10] Orang biasa, mendambakan kebahagiaan,
Tidak bisa hidup tanpa kenyamanan.
Menyadari bahwa kenyamanan berasal dari kemurahan hati,
Itulah yang Muni bicarakan pertama. [1:11] Tidak berwelas asih, sangat tidak peka,
Berjuang semata-mata untuk keuntungan pribadi –
Bahkan individu semacam itu akan mendapatkan kenyamanan,
Dan dapat menghadapi semua penderitaan, melalui kemurahan hati. [1:12] Selanjutnya, mempraktikkan kemurahan hati,
Mereka akan secepatnya bertemu dengan yang unggul,
Sepenuhnya memotong arus dari samsara.
Karena sebab itulah, mereka selanjutnya menuai kedamaian. [1:13] Mereka berjanji demi kesejahteraan orang lain,
Akan segera mendapatkan kebahagiaan melalui kemurahan hati.
Oleh karena itu, kepada mereka yang memiliki welas asih dan mereka yang tidak
Pentingnya (memiliki) kemurahan hati ditekankan. [1:14] Saat mendengar atau berpikir untuk “memberi!”
Kesenangan seorang Bodhisattva
Melebihi kesenangan nirvana dari arhat,
Belum lagi [sukacita] dalam memberikan segalanya. [1:15] Penderitaan ketika memotong dan memberikan tubuhnya,
Dia menyadari rasa sakitnya
Yang lainnya bertahan di neraka dan sebagainya.
Dia kemudian berusaha untuk memberantas penderitaan.
1:16

halaman 49

Apa itu paramita ?  [t = 1:46:19]

Saya ingin mengucapkan beberapa kata di syair 16, di mana Chandrakirti membedakan apa yang bisa disebut paramita. Ini mirip dengan diskusi sebelumnya tentang apa yang sebenarnya bisa disebut bodhisattva.

[1:16] Memberi, yang kosong dari pemberi, pemberian dan penerima –
Diketahui sebagai paramita transenden.
Kemelekatan pada ketiga ini
Diajarkan sebagai paramita biasa.

Di sini dia mengatakan bahwa paramita berarti ‘pergi melampaui’, dan oleh karena itu paramita bahkan tidak ada di bhumi ke-1 karena seperti yang telah kita lihat, kita tidak pergi melampaui sampai nanti. Karena kita masih memiliki semua tsendzin ini pada enam bhumi pertama. Jadi kita bisa membedakan tiga jenis paramita yang berbeda:

  • Paramita transenden dari kemurahan hati : paramita sejati atau paramita transenden adalah saat kita terlibat dalam kemurahan hati tanpa konsep pemberian, pemberi atau penerima. Tidak ada subjek, tidak ada objek, tidak ada tindakan – itu benar-benar perspektif nondual, yang melampaui tsendzin dan melampaui dualitas.
  • Paramita biasa dari kemurahan hati : inilah saat Anda masih melekat pada subjek, objek dan tindakan itu sebagai nyata. Kamu masih punya dendzin. Ini sesuai dengan bodhisattva yang masih berada di jalan atau makhluk hidup seperti kita.
  • Kemurahan hati duniawi: ini hanya menjadi orang baik. Kita mungkin melakukan hal-hal yang baik untuk teman kita dan seterusnya. Kita mungkin bermurah hati. Tapi seperti yang kita lihat sebelumnya, jika Anda belum membuat pilihan ini, komitmen bahwa semua tindakan Anda adalah untuk mencerahkan semua makhluk, bahkan tidak dapat dianggap sebagai paramita biasa. Agar bisa dianggap sebagai paramita biasa, Anda setidaknya harus menjadi bodhisattva seperti yang didefinisikan oleh tindakan Anda. Dengan kata lain, Anda harus melampaui sekadar cita-cita (aspirasi) memasuki bodhicitta, gagasan bahwa Anda berkomitmen atas diri sendiri dan kehidupan Anda – semua tindakan, tujuan, narasi Anda – untuk pencerahan bagi semua makhluk hidup.
1:17

halaman 49

Mengapa kita tidak bisa hanya melakukan latihan saja? Mengapa kita perlu mempelajari pandangan?  [t = 1:48:25]

Saya menyebutkan hal ini karena ketika kita mengajukan pertanyaan seperti “Mengapa tidak kita melakukan latihan kita saja? Mengapa kita perlu menghabiskan seluruh waktu ini untuk membangun pandangan? Apa gunanya? “Nah, Anda bisa mulai melihat sekarang bahwa jika Anda tidak memiliki pandangan, Anda hanya akan mempraktekkan kemurahan hati duniawi biasa. Anda bahkan tidak sampai sejauh paramita biasa, apalagi paramita yang transenden. Jadi Anda hanya akan melakukan tindakan tanpa kebijaksanaan. Dan selama Anda hanya berperilaku sesuai dengan kebiasaan biasa Anda, Anda tidak mengumpulkan kebajikan apapun. Dengan kata lain, Anda tidak melakukan apa-apa untuk terlibat dalam tetesan itu, tetesan untuk secara bertahap mengurangi kebiasaan Anda yang pada akhirnya mengarah pada perubahan yang terputus-putus, menjadi pemahaman mendalam, dan kemudian menjadi pencerahan.

[1:17] Bodhisattva, yang teguh dalam batin seperti itu,
Telah menjadi makhluk suci, menggairahkan dan berseri-seri dengan sukacita,
Yang, seperti permata kristal air,
Benar-benar menaklukkan kegelapan yang pekat.
2:1-5:1

halaman 50-63

Bab 2 sampai 5: disiplin, kesabaran, ketekunan & meditasi  [t = 1:49:13]

Bab-bab yang tersisa dari lima bhumi pertama adalah Bab 2 tentang disiplin, Bab 3 tentang kesabaran, Bab 4 tentang ketekunan dan Bab 5 tentang meditasi. Semuanya cukup mudah. Jika ada yang tidak jelas silahkan mengajukan pertanyaan, tapi saya pikir Anda akan merasa cukup mudah untuk memahaminya.

6:1-6:3

halaman 64

Bab 6: Pertanyaan apa yang sedang kita jelajahi?  [t = 1:49:33]

Kemudian kita menuju ke Bab 6, dan tujuh syair pertama cukup mudah. Kerja keras dimulai minggu depan dengan syair 8.

[6:1] Dalam ‘Memajukan’, batinnya berdiam dalam meditasi,
Maju menuju dharma dari kebuddhaan yang sempurna.
Melihat kesengsaraan dari kemunculan yang bergantungan,
[Bodhisattva] berdiam dalam kebijaksanaan, hingga mencapai penghentian. [6:2] Sebagai kerumunan dari orang yang buta
Bisa dengan mudah dituntun menuju ke tujuan yang diinginkan
Oleh individu yang dapat melihat, juga cerdas
dapat memimpin kualitas yang buta menuju kemenangan. [6:3] Ia yang menyadari dharma yang mendalam dari ini [bhumi],
Melalui naskah suci maupun melalui penalaran
Adalah Arya Nagarjuna. Berdasarkan tradisi naskah suci nya,
Saya akan menjelaskan tradisi ini, seperti yang ada sekarang.

Dalam syair-syair awal ini, Chandrakirti berbicara sedikit tentang apa itu kebijaksanaan. Dan dalam dua baris terakhir dari syair 1 dia berkata:

[6:1cd] Melihat kesengsaraan dari kemunculan yang bergantungan,
Bodhisattva tinggal dalam kebijaksanaan, hingga mencapai penghentian.

Seperti yang di utarakan dalam komentar, ini menimbulkan dua pertanyaan yang kemudian menjadi pokok pembicaraan kita untuk keseluruhan Bab 6, yang sebagian besar merupakan sisa dari empat tahun pengajaran dan akan membawa kita ke Minggu 6 dalam program ini. Dan pertanyaan ini adalah:

  • Ketika kita mengatakan kemunculan yang bergantungan, apakah artinya?
  • Ketika kita mengatakan “kebijaksanaan yang mengetahui kemunculan yang bergantungan”, kita berbicara tentang sesuatu yang ‘dikenal’ oleh kebijaksanaan, yang tampaknya menunjukkan pengalaman subjektivitas. Jadi bagaimana kita bisa mengerti kebijaksanaan, ‘yang mengetahui’ ini, saat kita nondual?

Jadi kita akan mengembangkan pemahaman tentang apa itu kemuculan yang bergantungan, bagaimana hal-hal berfungsi di dunia? Dan kemudian apa kebijaksanaan yang mengerti ini? Itulah yang banyak akan menjadi topik kita.

6:4-6:7

halaman 66-68

Kepada siapakah kekosongan diajarkan?  [t = 1:50:50]

Syair 4 sampai 7 juga penting, di mana kita berbicara tentang siapa yang seharusnya menjadi penerima pengajaran ini, dengan kata lain kepada siapa harus diajarkan ? Ada gambar yang indah di syair 4:

[6:4] Bahkan makhluk biasa pun, ketika mendengar kekosongan,
Berulang kali merasakan kegembiraan yang luar biasa dari dalam,
Membawa keluar air mata yang melembabkan matanya,
Dan membuat bulu rambut di tubuhnya bergetar. [6:5] Dia memiliki benih untuk batin pencerahan sempurna
Dan merupakan penerima yang sempurna untuk instruksi,
Dia harus diajarkan kebenaran tertinggi.
Agar memunculkan kualitas yang menghasilkan. [6:6] Setiap saat menerapkan disiplin yang sempurna, dia datang untuk tinggal di dalamnya.
Memberi dengan kemurahan hati, berpegang pada welas asih,
Dan bermeditasi pada kesabaran,
Dia benar-benar mendedikasikan kebajikannya bagi pencerahan para makhluk. [6:7] Berdevosi pada Bodhisattva yang sempurna,
Terampil dalam cara yang mendalam dan luas,
Dia secara bertahap akan mencapai bhumi yang Sangat Menyenangkan.
Oleh karena itu, mereka yang beraspirasi seharusnya mendengarkan jalan ini.

Jadi ya, jika kita adalah tipe siswa yang ketika kita mendengar ajaran-ajaran ini tentang kekosongan dan Jalan Tengah kita memiliki air mata di mata kita dan bulu-bulu di tubuh kita bergetar, maka mutlak kita harus diberi ajaran menyeluruh dari kekosongan individu dan kekosongan fenomena. Semakin terperinci, Anda bisa mengatakan ada tiga jenis siswa yang berbeda, tiga jenis orang dengan latar belakang dan kebutuhan berbeda:

  • Orang dengan keyakinan filosofis yang jelas (koheren) : Orang jenis pertama adalah seseorang yang bukan seorang Buddhis, tapi seseorang yang berpegang pada pandangan filosofis atau religius lainnya. Misalnya, seseorang yang percaya pada agama Kristen atau Hinduisme atau yang lainnya. Dan untuk mereka, kita bisa mengajari mereka Madhyamaka. Kita dapat melibatkan mereka dalam logika dan penalaran dan menolak pandangan mereka, dan kemudian menetapkan pandangan Madhyamaka, yang kemudian dapat mereka praktikkan. Meskipun seperti yang ditunjukkan Rinpoche, itu sedikit sulit bagi banyak orang di dunia modern, terutama yang dipengaruhi oleh kepercayaan New Age (Era Baru), karena mereka tidak harus memiliki pandangan yang konsisten dan koheren. Ini lebih seperti campur aduk dari berbagai hal yang di campur semua. Tapi bagaimanapun, jika ada seseorang dengan filosofi yang koheren, jika mereka memiliki pandangan yang kuat, kita bisa mengajari mereka Madhyamaka.
  • Pemula: Jenis orang kedua adalah seorang pemula, seseorang yang tidak memiliki pandangan dunia filosofis, walaupun persyaratannya adalah bahwa bagaimanapun mereka seharusnya memiliki rasa malu dan takut dalam melakukan kejahatan, dengan kata lain memiliki beberapa naluri moral dasar. Bagi mereka, kita mengajarkan jalan bertahap. Kita mulai dengan latihan pikiran dan lojong. Kita mengajarkan shamatha dan vipassana. Kita mengajarkan bodhicitta. Dan kemudian setelah mereka mengembangkan fondasi dalam belajar dan berlatih, kita mengajari mereka Madhyamaka.
  • Mereka yang terbangun ke dalam keluarga Mahayana: Jenis murid ketiga adalah seseorang yang telah terbangun ke dalam keluarga Mahayana. Orang seperti ini tidak perlu di yakinkan dengan logika, karena mereka sudah menerima pandangan. Dan mereka tidak membutuhkan ajaran fondasi, jadi bagi mereka Anda bisa mengajarkan kekosongan secara langsung.

Jean-Paul Sartre

Menghindari nihilisme dan eternalisme saat belajar dan berlatih di Jalan Tengah  [t = 1:52:59]

Seperti yang sering diingatkan Rinpoche, ada potensi perangkap di sini. Dan agar diri kita berhati-hati, kita seharusnya tidak mengajar Madhyamaka kepada seseorang yang tidak memiliki fondasi (dasar) yang kuat, karena dengan demikian mereka mungkin dengan mudah salah memahami ajaran sebagai ajaran tentang nihilisme. Dengan kata lain, mereka mungkin salah memahami kekosongan sebagai berarti penyangkalan atas diri daripada menyadari bahwa pada akhirnya diri itu berada di luar empat eksistensi ekstrem, bukan eksistensi, keduanya dan tidak keduanya, dan bahwa secara relatif diri itu muncul dan berfungsi seperti ilusi magis. Dan seperti yang kita lihat minggu lalu, ketika ajaran-ajaran ini pertama kali diterjemahkan ke Barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, orang-orang salah memahami ajaran Jalan Tengah sebagai bentuk nihilisme. Mereka mengira ajaran tentang non-diri sebenarnya mengatakan tidak ada apapun, yang tentu saja bukan yang kita katakan. Tetapi jika Anda tidak benar-benar membumi dalam ajaran ini, jika Anda tidak memiliki cukup banyak latihan untuk kesadaran dan bodhicitta, Anda mungkin berisiko jatuh ke dalam semacam depresi saat Anda mendengar bahwa tidak ada kebenaran. Tidak ada diri. Tidak ada tujuan akhir. Hidup pada akhirnya tidak ada artinya. Inilah yang banyak terjadi dengan orang-orang yang salah memahami eksistensialisme. Karena mereka menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran, tidak ada tujuan hidup, Tuhan sudah mati – banyak eksistensialis berakhir sebagai nihilis bahwa tidak hanya menulis tentang bunuh diri tapi benar-benar melakukan bunuh diri. Jadi sangat penting untuk tidak mengembangkan interpretasi nihilistik atas kekosongan.

Dan tentu saja jatuh ke ekstrem lainnya juga berisiko. Kita bisa menjadi eternalis. Kita mungkin mulai bangga dengan pemahaman kita. Tapi itu tidak mungkin, saya kira, walaupun saya harus mengatakan bahwa di dalam bhumi tentang disiplin, di Bab 2 syair 3 ada sebuah kutipan yang sangat bagus yang mengatakan jika Anda berdiam pada kemurnian disiplin Anda sendiri, itu bukanlah disiplin murni.

[2:3] Berdiam dalam kemurnian disiplin dirinya sendiri,
Adalah bukan disiplin murni.
Jadi dalam kaitannya dengan tiga [aspek] nya, pada setiap saat
Dia benar-benar terbebas dari ikatan-ikatan dari batin dualistik.

Jika kita mulai mengembangkan hubungan subjek-objek dengan disiplin kita dan kita mulai melekat padanya, kita tidak lagi berlatih nondualitas. Dan seperti kebanyakan dari Anda, saya yakin telah membaca, Chögyam Trungpa Rinpoche membicarakan dan menulis tentang ‘materialisme spiritual’, gagasan bahwa jika kita tidak hati-hati, jalan Dharma kita bisa menjadi hiasan bagi ego kita. Kita bisa mulai mengembangkan kebanggaan dan melekat pada identitas kita sebagai praktisi yang baik, yang kemudian menjadi penghalang lain yang perlu kita singkirkan.

Tentu sangat penting bahwa kita tidak menjadi nihilistik dengan jalan kita, dan terutama dengan ajaran-ajaran Jalan Tengah tentang kekosongan, tapi penting juga bahwa kita tidak menjadi eternalistik. Jadi perhatikan saja godaannya. Ya, jika Anda adalah tipe praktisi yang senang dengan ajaran dan bulu-bulu di tubuh Anda bergetar, itu bagus sekali, tapi Anda tidak ingin mulai mengembangkan identitas di sekitar itu. Identitas yang Anda inginkan adalah sebagai bodhisattva, seseorang yang melampaui semua ini. Seperti yang Anda ingat dari tempat kita memulai malam ini, rakitnya adalah untuk menyeberang bukan untuk dijadikan pegangan.

Mañjushri-Nama-Samgiti (Himalayan Art) 512px

Praktik / Latihan  [t = 1:55:53]

Jadi dengan itu kita akan menutup pengajaran minggu ini, dan saya akan meninggalkan Anda dengan beberapa saran dari Rinpoche. Bab 6 syair 8 adalah di mana kita memulai dengan semua logika dan penalaran, dan di situlah keadaannya menjadi semakin sulit. Jika kita menggunakan analogi Hero’s Journey (perjalanan pahlawan), saat itulah kita melintasi ambang pintu keluar dari dunia biasa dan memasuki dunia abstraksi dan logika yang aneh ini, di mana kita akan membahas kebenaran tertinggi (mutlak). Dan karena ini merupakan ambang batas yang besar untuk dilewati, sebuah langkah besar, ketika ini diajarkan secara tradisional di shedras dan wihara, mereka melakukan sebuah upacara besar sebelum mereka memulai syair 8. Rinpoche mengatakan bahwa akan sangat menguntungkan bagi kita untuk melakukan hal serupa. Jadi, saya mendorong kalian semua antara minggu ini dan minggu depan: tolong, apapun latihan Anda, lakukanlah untuk berlatih secara spesifik dengan aspirasi agar Anda bisa mengerti ajaran-ajaran ini dan bagian Bab 6 lainnya yang akan segera kita masuki, sehingga Anda bisa menerapkannya dan mencerahkan semua makhluk hidup. Banyak dari Anda meminta lebih banyak materi praktik di situs web, jadi jika Anda melihat halaman Praktik yang Anda akan lihat, saya telah menambahkan beberapa praktik yang boleh Anda pergunakan. Anda bisa melafalkan Sutra Hati dan Mañjushri-Nama-Sagiti, dan Anda juga akan menemukan petunjuk Jamyang Khyentse Wangpo tentang bagaimana mempraktikkan Mañjushri-Nama-Sagiti. Tetapi jika Anda memiliki beberapa latihan lain, apapun latihan Anda, saya sangat menganjurkan Anda untuk benar-benar mengumpulkan beberapa latihan minggu ini, untuk benar-benar mengumpulkan beberapa kebaikan, sehingga minggu depan kita akan siap untuk melewati ambang pintu dan memulai petualangan kita. Dan dengan itu, terima kasih banyak. Saya berharap minggu yang indah untuk Anda dan saya akan bertemu Anda lagi minggu depan.


© Alex Trisoglio 2017
Diterjemahkan oleh Medya Silvita Lie